Ditulis oleh: Najwa Deswita Dea Putri dan Yuliana Kartika Dewi
Jakarta, aktual.com – Menteri Koordinator Bidang Pangan pada Kabinet Merah Putih yakni Zulkifli Hasan, saat ini tengah menuai sorotan publik akibat responnya yang dinilai tidak memadai dalam menangani krisis pangan yang terjadi akibat banjir bandang di Pulau Sumatera pada akhir tahun 2025 ini. Salah satu respon yang menjadi sorotan adalah aksinya memanggul karung beras sendiri saat melakukan peninjauan lokasi banjir di Sumatera Barat yang terekam jelas dalam unggahan resmi. Liputan6 2025 mencatat bagaimana “Zulhas memanggul sendiri bantuan beras untuk korban bencana” yang menimbulkan perdebatan publik antara empati dengan pencitraan.
Banjir dengan intensitas tinggi yang menerjang beberapa titik di pulau Sumatera, seperti Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, tidak hanya merusak infrastruktur dan melumpuhkan stabilitas perekonomian saja, tetapi juga menyebabkan masyarakat terisolasi akibat putusnya akses transportasi dan menghambat distribusi bahan pangan untuk jutaan warga yang menjadi korban dari bencana alam ini.
Merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tanggal 9 Desember 2025, korban dari longsor dan banjir bandang ini telah mencapai sekitar 964 korban jiwa, 262 jiwa hilang, dan 5.000 jiwa terluka. Dalam kondisi darurat seperti ini, Kementerian Koordinator Bidang Pangan mempunyai peran yang begitu krusial untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat tetap terpenuhi dan persediaan logistik dapat berjalan tanpa adanya hambatan.
Sebagai menteri yang bertanggung jawab atas koordinasi pangan nasional, Zulkifli Hasan sudah semestinya mampu untuk mengatur langkah penanganan krisis secara efektif dengan berkoordinasi oleh pemerintah daerah dan lembaga penanggulangan bencana. Namun, tindakan yang ia lakukan justru malah menimbulkan tanda tanya publik mengenai kapasitas kepemimpinannya dalam menangani krisis yang berskala nasional ini.
Ketika Aksi Simbolik Menguji Kepercayaan Publik
Salah satu momen yang menjadi perhatian publik adalah ketika Zulkifli Hasan turun langsung ke lokasi banjir yang terjadi di Sumatera Barat. Pada satu sisi, tindakan yang dilakukan mencerminkan gestur empati seorang pemimpin: hadir di lokasi dan menyapa para korban, serta ikut menanggung beban. Liputan 6 (2025) menulis bahwa “Zulhas mengungkapkan, aktivitas berbagi bukan hal baru baginya. Ia mengaku sudah terbiasa melakukan hal itu sejak masih berusia enam tahun, jauh sebelum terjun ke dunia politik dan pemerintahan”.
Namun di sisi lain, pengambilan gambar yang berfokus pada momen dirinya memikul karung dan kemudian dipublikasikan pada akun resmi membuat masyarakat menafsirkan hal lain. Apakah ini bentuk serving the people atau serving the image? Apalagi pada kejadiannya, terdapat banyak relawan dan petugas berada di lokasi yang sebenarnya bisa saja melakukan tugas fisik itu tanpa perlu sorotan kamera.
Ketegangan tafsir ini membuka ruang untuk membaca aksi tersebut melalui kacamata kepemimpinan yang tidak etis. Kepemimpinan yang tidak etis tidak selalu hadir dalam bentuk skandal besar, tetapi bisa juga muncul dalam ekspresi simbolik dan pengelolaan emosi yang tampak tulus namun sesungguhnya manipulatif. Merujuk pada buku Leadership in Organizations, salah satu bentuk kepemimpinan tidak etis adalah pseudo-transformationalleadership (Yukl, 2013).
Dalam bentuk ini, pemimpin menampilkan diri seolah-olah heroik dan inspiratif pada momen-momen tertentu saja, padahal yang terutama diambil adalah kesempatan untuk membangun citra, bukan memperkuat kepentingan publik secara mendalam. Gestur Zulkifli Hasan dengan aksinya yang memanggul beras menunjukkan bahwa dirinya seolah-olah heroik sebagai Menteri Koordinasi Bahan Pangan. Zulkifli Hasan tampaknya lebih mengutamakan upaya membangun citra dirinya daripada menyelesaikan persoalan pangan secara nyata dan merata karena terbukti masih banyak daerah yang membutuhkan bantuan kebutuhan dan pasar dan lebih bergantung pada bantuan dan donasi masyarakat sipil.
Selain itu, koordinasi pangan nasional yang menjadi tanggung jawab Zulkifli Hasan malah berjalan lambat dan tidak terarah, serta kondisi di lapangan yang justru memperlihatkan bahwa adanya kesenjangan antara citra pemerintah dan realitas bantuan yang diterima oleh masyarakat. Masyarakat sendiri lebih merasakan bantuan yang diberikan oleh relawan, komunitas lokal, hingga para influencer di media sosial yang menggerakan donasi untuk korban secara cepat dan tepat.
Terdapat video dan laporan dari warga yang memperlihatkan bahwa bantuan yang sampai lebih dulu pada daerah terisolasi bukan berasal dari pemerintah pusat, melainkan bersumber dari masyarakat sipil yang mampu untuk bergerak secara spontan. Solidaritas warga merupakan sebuah kekuatan sosial yang sangat luar biasa. Namun, hal ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi tanggung jawab utamanya untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Dalam kerangka kepemimpinan efektif Yukl (2013), seorang pemimpin seharusnya mampu menggerakan organisasinya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, hal ini tentu sangat berkaitan dengan tanggung jawab Zulkifli Hasan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun warganya yang kelaparan. Akan tetapi, pada kenyataanya implementasi kepemimpinan Zulkifli Hasan tidak mampu untuk memperlihatkan kemampuannya dalam mendorong sistem respons yang sigap dan terpadu, sebab negara justru absen dalam penanggulangan bencana yang semestinya dilakukan secara menyeluruh.
Pemerintah sendiri mengklaim bahwa telah menggelontorkan bantuan dalam jumlah milyaran yang justru kenyataannya berbanding terbalik karena banyak laporan di lapangan yang menunjukkan masih banyak daerah yang belum tersentuh distribusi bantuan secara memadai dan bergantung pada dukungan relawan maupun inisiatif masyarakat sipil. Fenomena masyarakat yang lebih merasakan bantuan dari relawan dibandingkan dari Kementerian Koordinator Bidang Pangan menjelaskan bahwa terdapat kriteria kepemimpinan efektif menurut Yukl (2013) yang tidak dapat dipenuhi oleh Zulkifli Hasan.
Tujuan organisasi yang tidak tercapai dengan efektif karena distribusi pangan terlambat dan kapasitas pengikut yang tidak dibangun sehingga membuat pemerintah daerah serta petugas lapangan bekerja tanpa adanya koordinasi yang jelas. Alhasil, masyarakat sipil justru mengambil alih peran yang seharusnya dilaksanakan oleh negara. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi krisis dan darurat, efektivitas Zulkifli Hasan bukan dinilai dari gestur simbolik, melainkan dari kemampuannya dalam menggerakan sistem dan memastikan bahwa masyarakatnya terlindungi.
Respon Zulkifli Hasan sebagai Menko Pangan pada krisis banjir Sumatra sejauh ini hanya berfokus pada penanganan jangka pendek, yakni melalui penambahan stok beras dan logistik lewat Bulog, serta janji pemulihan rumah dan infrastruktur. Langkah ini menjadipenting, tetapi penguatan mekanisme pangan yang ia pimpin juga diperlukan, mulai dari Bulog, pemerintah daerah, jaringan distribusi, sampai akhirnya berada pada komunitas lokal menjadi langkah perbaikan yang berdampak jangka panjang. Ini selaras dengan konsep kepemimpinan yang efektif menurut Hughes dkk. (2018) dan kepemimpinan kolaboratif dalam tata kelola publik.
Tugas utama Kemenko Pangan menurut Perpres No. 147 Tahun 2024 menyebutkan bahwa Kementerian Koordinator Bidang Pangan bertugas menyelenggarakan sinkronisasi, koordinasi, dan pengendalian pelaksanaan urusan kementerian di bidang pangan. Artinya, evaluasi kepemimpinan Zulkifli Hasan seharusnya tidak berhenti pada apakah ia hadir di lokasi dan memanggul beras, tetapi juga sejauh mana ia membangun mekanisme jangka panjang agar negara tidak terus menerus kalah cepat dengan sinergi masyarakatnya sendiri. Disini Zulkifli Hasan ditantang untuk bergeser dari logika kepemimpinan yang mengandalkan heroisme individual menuju logika kepemimpinan yang menjadikan dirinya sebagai enabler bagi kekuatan yang bersifat kolektif.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain














