Jakarta, Aktual.com — Ruang digital Indonesia makin panas, penuh polarisasi, dan dipenuhi arus informasi yang saling bertabrakan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Nurwati, menegaskan bahwa perkembangan teknologi justru melahirkan distorsi etika publik, terutama akibat menguatnya echo chamber, filter bubble, dan banjir hoaks politik.
Menurutnya, dua fenomena itu menjadi akar pecahnya rasionalitas publik. Echo chamber membuat seseorang hanya terpapar opini kelompoknya, sementara filter bubble bekerja melalui algoritma platform yang menyodorkan konten sesuai preferensi pengguna.
“Contoh saya searching tentang diabet, misalnya. Yang keluar semua tentang naik,” kata Nurwati saat webinar, Jumat (12/12/2025).
Ia menilai kondisi tersebut makin berbahaya saat dikaitkan dengan politik elektoral. Polarisasi ekstrem pada Pemilu 2019 dan 2024 menciptakan kelompok yang menutup diri dari fakta berbeda. “Cebong versus kampret” menjadi contoh nyata bagaimana ruang digital membentuk “ruang gema” yang memperkuat klaim kebenaran sepihak.
Di tengah situasi itu, hoaks politik menyebar cepat dan masif, memperkeruh perdebatan publik. Banyak hoaks menyasar isu sensitif seperti kinerja pemerintah, kesehatan, hingga isu identitas.
“Itu bisa memicu turunnya kepercayaan pada pemerintah dan institusi,” tegas Nurwati.
Masalah lain yang ia soroti adalah buruknya perlindungan data pribadi. Kasus kebocoran data BPJS Kesehatan yang diperjualbelikan secara ilegal menjadi alarm serius bahwa pengawasan di ruang digital masih rapuh. Publik akhirnya tidak hanya terpapar manipulasi informasi, tetapi juga rentan menjadi korban penyalahgunaan data.
Nurwati turut menyoroti maraknya bot dan akun anonim dalam percakapan politik. Bot mampu memproduksi konten politik secara masif, sementara akun anonim kerap digerakkan sebagai mesin propaganda.
“Itu mengacaukan diskusi publik dengan komentar yang tidak otentik,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa ruang digital kini bukan sekadar arena interaksi, tetapi juga arena perang opini. Tanpa etika, literasi, dan regulasi yang kuat, ruang digital berpotensi menjadi instrumen manipulasi politik yang merugikan publik.
(Achmad)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















