Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)

Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Di banyak sudut negeri ini, pola yang sama terus berulang. Di hulu, hutan dikuliti, bukit digergaji, sungai ditambang, laut dicongkel. Di hilir, rakyat kebanjiran, tanah mereka longsor, udara mereka sesak, penghidupan mereka ambruk pelan-pelan.

Alam dilumat, rakyat disikat.

Ironisnya, semua itu sering terjadi atas nama “pembangunan” dan “kepentingan nasional”. Padahal kalau kita jujur, yang paling pertama menikmati “pembangunan” model begini bukan rakyat banyak, melainkan segelintir pemegang izin dan pengatur kebijakan yang duduk di tempat paling nyaman di lingkar kekuasaan.

Dalam banyak kesempatan, Cak Nun berulang kali mengingatkan bahwa alam semesta ini adalah titipan Tuhan. Kita bukan pemilik, kita hanya pengelola yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban—bukan hanya di hadapan Tuhan, tapi juga di hadapan anak cucu kita.

Kalimat itu seharusnya cukup untuk membuat siapa pun berhenti sejenak sebelum menandatangani satu izin tambang, satu perubahan tata ruang, atau satu proyek raksasa yang memuncratkan keuntungan jangka pendek sambil menyiapkan bencana jangka panjang.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Ketika “Negara” Menghilang, yang Tersisa Hanya Mesin Pemerintah

Dalam pelajaran kewarganegaraan, kita diajarkan bahwa negara terdiri dari rakyat, wilayah, dan pemerintah. Negara, idealnya, adalah rumah bersama: ruang di mana kekuasaan diikat oleh hukum, dan hukum diikat oleh nilai keadilan.

Tetapi dalam praktik sehari-hari, yang sering tampak di depan mata bukan “negara” sebagai rumah bersama, melainkan pemerintah sebagai mesin kekuasaan.

Di titik ini terasa sekali paradoks yang menyakitkan:

• Ketika rakyat kecil salah sedikit dalam urusan administrasi, negara hadir dengan aturan yang keras dan tegas.

• Tapi ketika ada perusahaan merambah kawasan lindung, merusak sungai, atau memicu bencana ekologis, negara tiba-tiba jadi makhluk yang kabur bentuknya: semua saling lempar kewenangan, saling sembunyi di balik pasal-pasal.

Kita seolah hidup dalam situasi di mana “negara” sebagai penjaga kepentingan umum menghilang, yang tersisa hanyalah pemerintah sebagai operator kekuasaan.

Di ruang kosong itulah, penguasa dan pengusaha bertemu dan bersekongkol, mengubah alam menjadi angka keuntungan.

Tanpa negara yang benar-benar berdiri sebagai penjaga titipan Tuhan dan amanah rakyat, pemerintah bisa mengeruk keuntungan dari alam ini sebanyak-banyaknya. Atas nama proyek strategis, hilanglah hutan adat. Atas nama investasi, lenyaplah pantai dan pesisir. Atas nama pertumbuhan ekonomi, meledaklah lubang-lubang tambang di mana-mana.

Alam yang Rusak adalah Surat Dakwaan Terbuka

Kerusakan alam sebenarnya adalah bentuk surat dakwaan terbuka terhadap cara kita bernegara.

Setiap banjir yang menggenangi kampung, setiap longsor yang memotong jalan, setiap kebakaran hutan yang mengirim asap hingga lintas negara, adalah bukti bahwa ada yang salah dalam keputusan-keputusan yang diambil atas nama “negara”.

Dalam kacamata Cak Nun, alam bukan sekadar objek ekonomi; ia adalah ayat Tuhan yang terhampar. Gunung, laut, hutan, dan sungai bukan hanya sumber daya, tapi juga sumber makna, sumber kehidupan, dan sumber kesadaran kita sebagai makhluk.

Jika alam diperkosa, yang rusak bukan hanya ekologinya, tapi juga jiwa kita sebagai bangsa.

Sayangnya, cara pandang resmi negara terhadap alam masih lebih banyak berhenti pada istilah “sumber daya”. Kata “daya” itu yang dikejar: berapa bisa diekstrak, berapa bisa dijual, berapa bisa masuk ke kas negara dan kas kelompok.

Sementara daya rusak—terhadap ekosistem, terhadap kehidupan rakyat di hilir—disebut sebagai “dampak” yang bisa “dikelola” dengan dokumen AMDAL dan program CSR seadanya.

Padahal, ketika satu generasi menghabiskan hutan, air tanah, dan udara bersih demi mengejar pertumbuhan hari ini, generasi yang akan membayar harganya adalah anak dan cucu kita sendiri.

Inilah yang dimaksud Cak Nun ketika beliau mengingatkan bahwa apa pun yang kita lakukan terhadap alam hari ini akan kita pertanggungjawabkan, tidak hanya di akhirat, tapi juga di depan wajah anak cucu yang akan mewarisi bumi yang kita tinggalkan.

Rakyat di Hilir Menjadi “Buffer” dari Keserakahan di Hulu

Coba kita perhatikan siapa yang paling sering menjadi korban ketika alam dilumat:

• Petani yang sawahnya tenggelam banjir bandang.

• Nelayan yang kehilangan ikan karena laut rusak dan pantai dikeruk.

• Warga kampung yang tanahnya ambles karena tambang bawah tanah.

• Komunitas adat yang kehilangan hutan, padahal di sanalah mereka menggantungkan hidup, budaya, dan jati diri.

Merekalah yang menanggung konsekuensi dari keputusan-keputusan besar yang tidak pernah secara sungguh-sungguh melibatkan mereka.

Mereka menjadi “buffer” – bantalan – dari benturan antara keserakahan ekonomi dan kelemahan hukum.

Di sisi lain, narasi yang sering dipakai justru membalikkan logika.

Rakyat dihilir kadang dituduh “tidak tertib”, “mendiami bantaran sungai”, “membuka lahan sembarangan”, tanpa mau melihat bahwa pilihan-pilihan hidup itu sering lahir dari keterdesakan ekonomi dan ketiadaan alternatif.

Sementara di hulu, orang-orang yang menandatangani izin pembalakan, yang mengubah kawasan lindung jadi kawasan konsesi, jarang sekali disebut sebagai pelaku utama.

Nama mereka tidak ada di berita banjir, padahal pena merekalah yang memulai rangkaian peristiwa itu.

Dari Kesadaran Spiritual ke Agenda Politik

Pernyataan Cak Nun tentang kewajiban menjaga alam sebagai titipan Tuhan sering dianggap sekadar nasihat moral. Padahal, jika kita konsisten, nasihat moral itu punya konsekuensi politik.

Kalau alam adalah titipan yang harus dijaga, maka:

1. Setiap kebijakan yang merusak alam adalah pelanggaran amanah.

Pejabat yang menandatangani izin merusak itu bukan hanya sedang “mengatur ekonomi”, tetapi sedang mengkhianati titipan Tuhan dan masa depan anak cucu bangsa.

2. Konstitusi dan undang-undang harus membaca alam sebagai subjek yang dilindungi, bukan objek yang dihabisi.

Artinya, cara kita merancang negara, membagi kewenangan, mengatur investasi, dan mendefinisikan pembangunan harus berangkat dari kesadaran bahwa ada batas moral dan ekologis yang tidak boleh ditembus.

3. Rakyat harus diberi posisi sebagai pemilik sah alam, bukan sekadar penonton kebijakan.

Kalau kedaulatan rakyat hanya berhenti di bilik suara lima tahun sekali, sementara keputusan-keputusan yang menentukan nasib sungai, hutan, dan gunung diambil di ruang-ruang tertutup, maka itu artinya kita belum bernegara secara benar.

Saatnya Mengembalikan Negara ke Pundak Rakyat dan Alam

Judul tulisan ini—Rakyat Disikat, Alam Dilumat—bukan untuk memantik pesimisme, tetapi untuk memotret kenyataan pahit yang harus kita hadapi bersama.

Kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam ilusi bahwa semua baik-baik saja selama ada pertumbuhan ekonomi dan proyek besar. Tanpa koreksi mendasar, kita sedang mewariskan negeri yang habis di atas kertas tetapi lapuk di akar.

Yang perlu kita perjuangkan bukan sekadar pergantian pejabat atau pembaharuan aturan teknis, tetapi pengembalian makna negara:

• Negara yang berdiri tegak di depan kekuatan modal ketika alam dan rakyat terancam.

• Negara yang menganggap banjir bukan sekadar “bencana alam”, tetapi alarm atas kebijakan yang salah.

• Negara yang menjadikan suara komunitas lokal, petani, nelayan, dan masyarakat adat sebagai rujukan utama, bukan sekadar lampiran formal.

Dan di atas semua itu, negara yang menjadikan alam bukan sebagai objek yang boleh dihabisi demi angka-angka, tetapi sebagai amanah yang harus dipelihara dengan rasa takut dan cinta.

Cak Nun benar ketika mengingatkan bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan terhadap alam.

Pertanggungjawaban itu bukan hanya di ruang metafisik, tapi juga di ruang sejarah: bagaimana anak cucu menyebut nama kita—sebagai generasi yang menyelamatkan, atau generasi yang menghabiskan.

Selama negara terus absen sebagai penjaga, sementara pemerintah sibuk mengeruk keuntungan dari alam, siklus rakyat disikat dan alam dilumat akan berulang tanpa henti.

Dan ketika itu terjadi, kita tidak hanya sedang mengkhianati konstitusi, tetapi juga sedang mengkhianati Tuhan, alam, dan anak cucu kita sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain