Oleh: Radhar Tribaskoro
Jakarta, aktual.com – Prabowo Subianto memasuki kursi kepresidenan bukan pada masa normal. Dunia sedang bergerak dari satu kutub ke banyak pusat daya. Amerika Serikat tidak lagi menjadi satu-satunya jangkar stabilitas global, sementara BRICS—yang kini tidak hanya ekonomi, tetapi juga politik—menawarkan alternatif institusional dan ideologis bagi negara-negara berkembang. Dalam konteks inilah risiko politik Prabowo harus dibaca: bukan semata dari dalam negeri, tetapi dari persilangan tekanan global dan konflik domestik.
Bermain di Banyak Papan
Keputusan Prabowo untuk merapat ke BRICS bukan langkah simbolik. Ia sadar bahwa ketergantungan tunggal pada Barat—khususnya AS—membatasi ruang gerak strategis Indonesia. Pertemuan dengan Vladimir Putin membuka kerja sama di bidang PLTN, energi, dan ekonomi; serangkaian pertemuan dengan Xi Jinping memperdalam hubungan yang sejak era Jokowi sudah terjalin kuat. Bahkan dalam isu sensitif seperti kereta cepat Whoosh, Prabowo memilih sikap tegas: “Saya akan bertanggung jawab.” Pernyataan ini bukan sekadar etika kepemimpinan, tetapi sinyal politik ke Beijing bahwa Indonesia tidak akan membiarkan proyek strategisnya runtuh oleh kekacauan domestik.
Namun Prabowo tidak memutus jalur lama. Hubungan dengan Amerika Serikat tetap dijaga. Ia merundingkan perjanjian dagang dengan administrasi Trump dan mendukung upaya perdamaian di Gaza yang dipimpin AS. Di permukaan, ini tampak sebagai diplomasi seimbang. Tetapi justru di sinilah risiko politik mulai mengeras: Prabowo menolak memilih satu kubu, dan dalam geopolitik, posisi “tidak memilih” sering kali dianggap sebagai pilihan itu sendiri.
Menyentuh Inti Kekuasaan Lama
Jika di luar negeri Prabowo bermain halus, di dalam negeri ia justru bergerak frontal. Pembatalan sejumlah Proyek Strategis Nasional yang dikendalikan oligarki adalah sinyal bahwa rezim baru tidak ingin menjadi kelanjutan pasif dari rezim lama. Pengambilalihan kebun-kebun sawit ilegal—yang selama ini menjadi ladang rente kekuatan ekonomi-politik—dan rencana penertiban tambang ilegal mempertegas arah itu.
Langkah-langkah ini bukan kebijakan teknokratis semata. Ia menyentuh jaringan kepentingan yang selama puluhan tahun membentuk apa yang bisa disebut political industrial complex: simpul antara modal besar, aparat, dan elite politik. Setiap sentimeter tanah sawit ilegal atau setiap konsesi tambang yang ditertibkan berarti ada aliran uang yang terputus. Di titik inilah risiko politik meningkat tajam.
Skenario Tradisional
Sejarah Indonesia memberi pelajaran keras: konflik domestik sering kali tidak murni domestik. Amerika Serikat pernah terlibat dalam PRRI dan memainkan peran penting dalam tragedi G30S/PKI. Bukan karena Indonesia lemah, tetapi karena posisinya strategis. Hari ini, ketika Indonesia mulai condong ke BRICS, logika geopolitik lama bisa aktif kembali.
AS, sebagai kekuatan yang lama “mengendapkan” Indonesia dalam orbitnya, tentu tidak akan sepenuhnya nyaman melihat pergeseran ini. Dukungan terhadap kekuatan oligarki yang kecewa oleh kebijakan Prabowo menjadi salah satu opsi klasik. Kelemahan utama aliansi semacam ini bukan pada modal atau akses internasional—itu selalu ada—melainkan pada kebutuhan akan elemen militan sebagai pemantik konflik.
Bibitnya kini terlihat. Ada elemen akar rumput militan yang masih setia pada pemerintahan lama, dan ada pula massa yang digerakkan oleh tokoh-tokoh politik daerah yang merasa terancam oleh penertiban pusat. Jika dua arus ini bertemu, risiko eskalasi meningkat.
Mengukur Risiko
Risiko politik Prabowo tidak bisa diukur secara statis. Ia harus dibaca sebagai tingkat kegentingan yang berubah dari waktu ke waktu. Selama konflik dengan oligarki masih bersifat administratif dan hukum, risiko berada pada level rendah-menengah. Namun jika tekanan ekonomi, mobilisasi massa, dan narasi delegitimasi internasional mulai bertaut, kegentingan naik.
Di sinilah tantangan terbesar Prabowo: menjaga agar konflik tetap berada dalam kanal institusional, sambil memastikan negara tidak kehilangan kendali atas aparatusnya sendiri. Pernyataan “Saya akan bertanggung jawab” penting, tetapi tidak cukup. Tanggung jawab personal harus segera diterjemahkan menjadi tanggung jawab institusional: transparansi, akuntabilitas, dan distribusi keputusan yang jelas.
Penutup
Prabowo memimpin Indonesia di masa ketika keberanian adalah prasyarat, tetapi kehati-hatian adalah kunci kelangsungan. Ia menghadapi risiko politik yang nyata: dari geopolitik multipolar yang tidak sabar, dari oligarki domestik yang terusik, dan dari sejarah yang menunjukkan bahwa konflik Indonesia jarang berdiri sendiri.
Pertanyaannya bukan apakah risiko itu ada—ia sudah ada. Pertanyaannya adalah apakah negara cukup kuat untuk menyerapnya tanpa runtuh. Di situlah ujian sesungguhnya dari kepemimpinan Prabowo.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain















