Jakarta, Aktual.com — Enam pekerja Kilang Pertamina RU IV Cilacap memilih menempuh perjalanan ekstrem dengan berjalan kaki menuju Istana Presiden di Jakarta. Aksi longmarch ratusan kilometer ini dilakukan untuk menuntut pemulihan hak bekerja dan pembayaran upah yang sejak pertengahan 2024 tak lagi mereka terima.

“Kami sudah bekerja puluhan tahun di kilang. Tiba-tiba akses kerja ditutup. Kami disebut diskorsing, lalu upah tidak lagi dibayarkan,” ujar Purwanto dan Wagimin, dua dari enam buruh tersebut, Selasa (16/12/2025).

Longmarch tersebut dimulai dari Cilacap sejak Rabu (10/12/2025). Saat ini, keenam buruh tersebut telah bergerak menuju wilayah Kabupaten Bandung. Sejumlah serikat pekerja dari federasi dan konfederasi buruh besar menyatakan kesiapan menyambut serta mendampingi mereka di beberapa titik. Dukungan ini diproyeksikan meluas sebagai bentuk perlawanan kolektif terhadap praktik ketenagakerjaan yang dinilai sewenang-wenang di lingkungan BUMN.

Persoalan bermula ketika akses keenam buruh ke lokasi kerja Kilang Pertamina RU IV Cilacap ditutup sejak pertengahan 2024. Mereka disebut tengah menjalani skorsing. Namun pada Januari 2025, status mereka berubah menjadi tidak lagi dipekerjakan. Bahkan sejak Juli 2024, upah mereka dilaporkan telah dihentikan.

Berbagai upaya telah ditempuh, termasuk proses bipartit bersama Federasi Buruh Migas Cilacap. Namun, tidak satu pun membuahkan kepastian. Aduan hingga tingkat pimpinan daerah pun tak menghasilkan solusi.

Koordinator Gerakan Bersama Buruh/Pekerja di BUMN (Geber BUMN), Achmad Ismail atau Ais, menegaskan bahwa hak atas pekerjaan dan upah dijamin UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“BUMN diberi mandat membuka lapangan kerja sesuai UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Jika buruh justru tersingkir, itu bentuk pengingkaran konstitusi,” tegasnya.

Momentum aksi ini bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember lalu. Enam buruh—Purwadi, Wagimin, Wibowo, Yulis, Anggit, dan Mujiono—menegaskan bahwa mereka tidak meminta belas kasihan, melainkan menuntut hak yang semestinya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi