Rinto Setiyawan, Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Ada satu ironi yang sering dirasakan warga ketika berhadapan dengan hukum: semakin kita “tertib” menyiapkan bukti, semakin kita dibuat sadar bahwa bukti belum tentu jadi raja. Di sengketa pajak, ironi itu punya nama yang nyaris melegenda di kalangan praktisi: Pasal 78 UU Pengadilan Pajak—pasal yang memberi ruang putusan diambil bukan hanya dari penilaian pembuktian dan aturan pajak, tapi juga “berdasarkan keyakinan Hakim”.

Di atas kertas, frasa itu terdengar wajar. Hakim memang harus memutus. Namun dalam praktik, frasa “keyakinan” bisa terasa seperti pintu darurat: saat pintu utama bernama “bukti” tak dibuka lebar, putusan tetap bisa keluar—dan pihak yang kalah sering merasa, “Saya kalah bukan karena bukti saya lemah, tapi karena bukti saya tidak dianggap ada.”

Analogi sederhana: kaki patah, tapi harus buktikan dulu sebelum dilayani

Bayangkan kamu pejalan kaki, ditabrak kendaraan, kaki patah. Kamu datang ke “rumah sakit keadilan” untuk minta pertolongan. Lalu petugas berkata:

“Sebelum kami layani, buktikan dulu bahwa kaki kamu patah.
Kalau terbukti pun, belum tentu kamu langsung ditangani.
Kamu harus masuk antrean, melewati tahapan, dan bisa saja kami tolak sebagai pasien.”

Itu terasa tidak masuk akal. Tapi kira-kira begitulah yang sering dirasakan pemohon uji materi (JR) ketika hendak ke Mahkamah Konstitusi: kamu harus membuktikan dulu kerugian konstitusionalmu agar dinilai punya kedudukan hukum (legal standing). MK memang punya kriteria yang sudah jadi rujukan (lima syarat kerugian konstitusional: ada hak UUD, dirugikan, spesifik-aktual/potensial, ada causal verband, dan ada kemungkinan pulih bila dikabulkan).

Masalahnya: dalam sengketa pajak, “kaki patah” itu sering kali justru terjadi karena bukti-bukti tidak dipertimbangkan secara utuh dalam putusan, atau setidaknya tidak tercermin jelas.

Padahal, UU Pengadilan Pajak sendiri memerintahkan putusan harus memuat “pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan”.

Jadi, kalau putusan tidak mengurai bukti, warga berada pada posisi absurd:

Di tingkat sengketa, ia merasa bukti tidak dibaca atau tidak diurai.
Di tingkat konstitusional (JR), ia diminta menunjukkan secara konkret kerugiannya—yang salah satu sumbernya justru “tak terlihatnya bukti” itu.

Lingkaran setan administratif yang bikin orang merasa harus “berdarah-darah” hanya untuk bisa mengetuk pintu pemeriksaan konstitusional.

Pasal 78 vs Pasal 84: konflik di ruang praktik

Pasal 78 berbunyi: putusan diambil berdasarkan penilaian pembuktian, aturan pajak, serta keyakinan hakim.
Sementara Pasal 84 ayat (1) huruf f mewajibkan putusan memuat penilaian setiap bukti.

Secara teori, ini harmonis:

Bukti dinilai satu per satu,
lalu keyakinan hakim menjadi simpulan akhir yang bisa diuji publik melalui pertimbangan putusan.

Namun kritik yang sering muncul adalah: ketika keyakinan tampil tanpa jejak penilaian bukti yang lengkap, keyakinan berubah dari “simpulan” menjadi “alat pemutus”—dan itu yang terasa problematik. Bahkan dalam mekanisme PK ke Mahkamah Agung, pihak berperkara kerap merasakan keterbatasan transparansi berkas (apa yang benar-benar terbaca/terbawa), meskipun PK memang dimungkinkan oleh UU.

Contoh aktual: JR PT Arion Indonesia (Perkara 244/PUU-XXIII/2025)

Kegelisahan ini meledak ke ruang publik lewat permohonan uji materi yang diajukan PT Arion Indonesia ke MK atas Pasal 78 UU Pengadilan Pajak. Dalam berita resmi MK (sidang pendahuluan 16 Desember 2025), kuasa hukum Pemohon (Kahfi Permana, S.H., M.H.) menyatakan pokok keberatannya: norma Pasal 78 dianggap tidak menyediakan mekanisme wajib untuk memastikan hakim menuangkan dan menilai seluruh alat bukti dalam putusan, sehingga “keyakinan hakim” berpotensi menjadi subjektif dan sulit diuji.

Pemohon pada intinya meminta MK memberi penafsiran konstitusional agar frasa “hasil penilaian pembuktian” dan “keyakinan Hakim” tidak dibiarkan menggantung, melainkan dikunci pada kewajiban:

menuangkan seluruh alat bukti,
menilai satu per satu,
dan memberi batas penggunaan “keyakinan”.

Ini penting bukan karena semua pihak harus setuju dengan Pemohon, tapi karena perkara ini memotret keluhan yang lebih luas: ketika putusan tidak transparan atas bukti, kalah-menang jadi terasa seperti “selera” bukan “metode”.

Kenapa isu “independensi” selalu ikut terbawa?

Dalam sengketa pajak, persepsi independensi bukan sekadar isu psikologis—ia punya akar kelembagaan. MK sendiri, dalam Putusan 26/PUU-XXI/2023, memerintahkan penyatuan pembinaan Pengadilan Pajak “satu atap” di bawah Mahkamah Agung, bertahap paling lambat 31 Desember 2026.

Artinya, negara (melalui MK) mengakui ada problem tata kelola yang perlu dibereskan demi kepastian dan keadilan. Jadi ketika publik mengaitkan “kalah bukti oleh keyakinan” dengan problem sistemik, itu bukan paranoia belaka—ada konteks reform yang sedang berjalan.

Jalan tengah yang “aman-redaksi”: kunci pada transparansi, bukan menyerang personal

Kalau tulisan ini harus rapi dan aman untuk redaksi, pesan utamanya sebaiknya begini:

1. “Keyakinan hakim” bukan musuh—yang bermasalah adalah keyakinan tanpa jejak penilaian bukti. Norma Pasal 84 sudah memerintahkan penguraian bukti; problemnya ada pada konsistensi praktik.
2. Uji materi seperti Arion adalah alarm prosedural. Ia mendorong MK menegaskan standar minimum putusan yang bisa diuji publik: bukti apa yang dipakai, bukti apa yang ditolak, dan mengapa.
3. Reform kelembagaan sudah diarahkan MK (deadline 31 Desember 2026). Momentum ini seharusnya dipakai untuk membangun kultur putusan yang lebih transparan dan akuntabel.
4. Legal standing di MK memang menuntut bukti kerugian konstitusional, tapi standar itu jangan sampai berubah menjadi “pintu berlapis” yang membuat korban ketidakadilan prosedural mustahil masuk.

Penutup

Negara hukum bukan hanya tentang “ada pengadilan”. Negara hukum adalah tentang cara pengadilan bekerja: apakah warga bisa menelusuri alasan kalah-menangnya secara rasional melalui putusan.

Ketika bukti tidak dipertimbangkan secara terang, lalu “keyakinan” datang sebagai palu terakhir, yang terluka bukan hanya wajib pajak. Yang retak adalah kontrak sosial: keyakinan publik bahwa hukum bisa diprediksi, diuji, dan dipertanggungjawabkan.

Dan kalau kita biarkan “Pasal Sakti” tetap sakti—tanpa pagar transparansi—kita sedang menyuburkan budaya yang paling berbahaya dalam negara hukum: putusan yang tidak bisa diaudit oleh akal sehat warga.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain