Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)
Jakarta, aktual.com – Bayangkan begini: seorang pejalan kaki ditabrak sampai kakinya patah. Lalu si penabrak, dengan tenang, berkata, “Tenang… kalau tidak terima, gugat saja.” Secara teori, itu terdengar “fair”. Secara praktik, itu terdengar seperti lelucon yang mahal—karena yang menanggung rasa sakit, biaya rumah sakit, kehilangan penghasilan, dan waktu berbulan-bulan di ruang sidang bukan si penabrak, melainkan korban.
Di ruang tata negara dan administrasi publik, kalimat “kalau ada yang tidak setuju, uji saja ke MA/MK” sering berfungsi mirip: bukan sebagai jalan keadilan, tetapi sebagai cara memindahkan risiko dari pembuat aturan ke warga.
Pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie terkait polemik Perpol 10/2025 memberi contoh segar dari pola ini. Ia menyebut masyarakat yang tidak setuju bisa membawa uji materiil ke Mahkamah Agung, bahkan mengatakan “bawa ke MA aja,” sekaligus menunjuk celah formil—misalnya absennya rujukan putusan MK dalam bagian “mengingat/menimbang”—sebagai titik serang. Ia juga menyebut jalur lain: Perpol bisa dicabut Kapolri atau dibatalkan atasan (Presiden) melalui instrumen regulasi lain.
Kedengarannya solutif. Tapi pertanyaan intinya: seandainya “JR saja” dijadikan budaya, siapa yang membayar ongkosnya?
“Uji belakangan” itu bukan tombol reset, tapi maraton
Dalam teori negara hukum, judicial review adalah rem konstitusional. Masalahnya, rem ini tidak bekerja seperti tombol darurat yang otomatis melindungi warga. Ia lebih mirip maraton administratif yang syaratnya banyak, waktunya panjang, dan bebannya berat.
Pertama: untuk uji materiil ke MA, Anda harus jadi pihak yang “dirugikan”, bukan sekadar warga yang “tidak setuju”.
Kepaniteraan MA sendiri menjelaskan kriteria pemohon HUM (Hak Uji Materiil): subjeknya bisa perorangan/badan hukum, tetapi harus pihak yang menganggap haknya dirugikan, ada hubungan sebab-akibat (causal verband), dan jika dikabulkan kerugian itu hilang/tidak terjadi.
Artinya, doktrin “aturan dulu, uji belakangan” diam-diam menyelipkan syarat tak tertulis yang kejam:
“Silakan protes, tapi lebih ‘bernilai’ kalau Anda sudah jadi korban.”
Kedua: untuk uji formil di MK, ada “jam pasir” yang pendek.
MK menegaskan uji formil hanya dapat diajukan paling lama 45 hari sejak UU diundangkan. Ini membuat problem baru: kalau akses publik pada naskah final, risalah, atau jejak proses pembentukan terlambat/terbatas, maka jendela 45 hari itu bisa habis sebelum warga benar-benar paham apa yang harus diuji.
Dengan kata lain: di satu sisi, negara bilang “kalau bermasalah, uji saja.” Di sisi lain, prosedur bilang “silakan, tapi waktunya mepet dan syaratnya ketat.”
Ketika pembuat aturan “boleh salah”, warga dipaksa “tidak boleh terlambat”
Pernyataan Jimly soal Perpol 10/2025 justru menggarisbawahi masalah yang lebih besar: kualitas pembentukan aturan. Jika sebuah peraturan yang sensitif—apalagi yang bersinggungan dengan tafsir putusan MK—bahkan tidak menempatkan rujukan putusan itu secara eksplisit di “mengingat/menimbang”, maka “jalan keluar” yang ditawarkan adalah: warga disuruh menggugat.
Di sini kita melihat logika yang berbahaya:
- Kesalahan desain regulasi diperlakukan seperti hal wajar (“nanti juga bisa diuji”),
- sementara kesalahan warga (tidak sempat menguji, tidak cukup bukti kerugian, salah strategi hukum) dihukum dengan satu hal: aturan telanjur berlaku dan dampaknya telanjur berjalan.
Perpol 10/2025 dan pelajaran yang lebih luas
Kontroversi Perpol 10/2025 tidak berdiri sendiri; ia berada di bayang-bayang Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 yang memperdebatkan makna Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, termasuk frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”, serta menegaskan kerangka berpikir bahwa anggota Polri tetap harus terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun untuk jabatan di luar kepolisian.
Yang perlu dicatat: perdebatan ini bukan cuma soal “siapa benar”. Ini soal arsitektur risiko:
- kalau regulasi “didorong dulu”, dampaknya bisa segera dirasakan (jabatan, kebijakan, anggaran, struktur kewenangan),
- sementara koreksinya lewat JR selalu belakangan, berlapis, dan bergantung pada siapa yang sanggup jadi pemohon.
Maka pertanyaannya bukan “bisa diuji atau tidak”, melainkan: berapa banyak kerusakan yang harus terjadi dulu sebelum rem itu ditarik?
Siapa yang menanggung risikonya?
Dalam praktik, yang paling rentan bukan mereka yang punya akses ke tim hukum dan kanal politik. Yang paling rentan adalah:
- warga biasa dan komunitas sipil yang baru “dianggap relevan” setelah bisa menunjukkan kerugian,
- pelaku usaha kecil/menengah yang terdampak cepat oleh perubahan aturan,
- wajib pajak/pencari keadilan yang sudah habis tenaga di satu forum, lalu masih harus membuktikan “luka”-nya untuk masuk forum berikutnya (seperti analogi: kakinya patah dulu, baru bisa mendaftar sebagai pasien—dan itu pun belum tentu diterima).
Kalau ini dijadikan budaya, maka negara hukum berubah pelan-pelan menjadi negara prosedur: benar-salah bukan lagi soal substansi, tetapi soal siapa sanggup bertahan di labirin.
Jalan keluarnya bukan melarang JR, tapi mengubah tanggung jawab
Judicial review tetap penting. Yang perlu diubah adalah mentalitas “JR sebagai tempat sampah” untuk aturan yang disusun tergesa atau tidak rapi.
Beberapa prinsip yang lebih adil:
- Transparansi naskah final sejak hari pertama berlaku (bukan setelah viral). Kalau uji formil dibatasi waktu, akses publik harus sebanding.
- Standar “quality gate” regulasi: setiap aturan yang menyentuh area yang sudah diputus MK harus punya jejak rujukan yang jelas (mengingat/menimbang), sehingga warga tidak dipaksa “berburu kesalahan” untuk sekadar membuka pintu gugatan.
- Mekanisme koreksi cepat oleh pembentuk aturan (executive self-correction). Bahkan Jimly sendiri menyebut pencabutan oleh Kapolri/atasan sebagai opsi yang lebih praktis. Ini semestinya jadi budaya: kalau keliru, cabut cepat—jangan tunggu warga berdarah-darah di pengadilan.
Doktrin yang terdengar bijak, tapi bisa jadi licin
Doktrin “aturan dulu, uji belakangan” terdengar seperti keberanian: negara bergerak cepat, koreksi menyusul. Namun tanpa disiplin kualitas, transparansi, dan mekanisme koreksi internal, doktrin ini berubah menjadi justifikasi untuk satu hal: warga dijadikan airbag.
Negara hukum bukan sekadar menyediakan jalur gugatan. Negara hukum adalah negara yang mencegah warganya menjadi korban untuk bisa didengar.
Kalau “uji belakangan” terus dijadikan jawaban utama, maka pertanyaan moralnya sederhana: siapa yang rela jadi korban pertama—agar sistem terlihat bekerja?
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain















