Arsip foto - Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/2/2023). ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.
Arsip foto - Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/2/2023). ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.

Jakarta, Aktual.com — Rencana penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 menuai penolakan dari kalangan buruh. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan akan menggelar aksi unjuk rasa di Istana Negara pada Jumat (19/12/2025). Mereka menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang dinilai minim pelibatan serikat pekerja dan berpotensi melemahkan prinsip kebutuhan hidup layak (KHL).

KSPI memperkirakan, dengan penggunaan indeks tertentu, kenaikan UMP 2026 hanya berkisar 4–6 persen. Angka tersebut dinilai lebih rendah dibanding kenaikan UMP 2025 yang mencapai 6,5 persen, sehingga dikhawatirkan tidak mampu menjaga daya beli buruh di tengah tekanan inflasi.

Menanggapi polemik tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, meminta persoalan UMP 2026 dilihat secara utuh. Menurutnya, perdebatan tidak boleh semata berfokus pada persentase kenaikan, tetapi harus menyentuh substansi perlindungan kesejahteraan pekerja sebagaimana diamanatkan konstitusi.

“Dalam pemaparan Menteri Ketenagakerjaan sudah disebutkan indeks kenaikan berada di rentang 0,5 sampai 0,9. Ini jauh lebih baik dibanding PP Nomor 51 Tahun 2023 yang hanya 0,1 sampai 0,3, serta sudah mengacu pada kebutuhan hidup layak dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168,” ujar Edy, Jumat (19/12/2025).

Politisi PDI Perjuangan ini menjelaskan, dengan asumsi inflasi sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi 5 persen, kenaikan UMP 2026 secara realistis dapat berada pada kisaran 5,5 hingga 7,5 persen. Namun demikian, politikus PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa jika upah minimum masih berada di bawah KHL, maka KHL harus menjadi patokan utama.

“Upah minimum harus dinaikkan hingga memenuhi kebutuhan hidup layak. Ini amanat UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan, kenaikan upah nominal tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan apabila tidak dibarengi pengendalian inflasi, khususnya pada sektor pangan, perumahan, dan transportasi. Karena itu, Edy mendorong kehadiran negara melalui kebijakan subsidi dan dukungan APBN serta APBD, termasuk bagi pekerja UMKM dan sektor informal.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi