Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP

BANJIR bandang, tanah longsor, dan kerusakan ekologis yang kini melanda berbagai wilayah di Sumatra tidak bisa lagi dipandang sebagai musibah semata. Ada jejak kebijakan, atau lebih tepatnya kelalaian kebijakan, yang menyertainya. Peringatan itu sebenarnya telah datang lebih awal melalui Rapor Tahun Pertama Shadow Executive Office Partai X yang dirilis pada 22 Oktober 2025.

Dokumen tersebut mungkin dianggap sebagai evaluasi rutin pemerintahan baru. Namun, waktu membuktikan bahwa rapor itu justru menjadi sinyal bahaya yang diabaikan. Di dalamnya tergambar dengan jelas lemahnya kesiapsiagaan negara dalam mengantisipasi bencana dan menjaga keseimbangan lingkungan, jauh sebelum alam “membalas” dengan bencana beruntun.

Salah satu catatan paling mencolok terdapat pada Misi Asta Cita ke-8. Indikator peningkatan anggaran mitigasi bencana dan penguatan sistem peringatan dini mencatat skor minus enam (-6), nilai terburuk di antara seluruh indikator. Angka ini mencerminkan ketidakpercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam membangun sistem perlindungan warga dari risiko bencana.

Ironisnya, stagnasi juga terjadi pada misi kemandirian bangsa, termasuk agenda ekonomi hijau. Sebanyak 96,25 persen indikator dalam misi ini tidak menunjukkan kemajuan berarti. Bagi Sumatra, yang hutannya menjadi benteng terakhir dari krisis ekologis, kebuntuan kebijakan ini sama artinya dengan membiarkan kerusakan berjalan tanpa kendali.

Pemerintah tampak masih terpaku pada pembangunan fisik dan stabilitas ekonomi jangka pendek. Isu lingkungan hidup ditempatkan di pinggir meja kebijakan. Penindakan terhadap aktivitas tambang perusak lingkungan memang tercatat, namun hanya bernilai plus satu (+1), angka yang nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan luas deforestasi dan degradasi lingkungan yang terjadi.

Tak mengherankan jika lembaga-lembaga kebencanaan seperti BNPB dan BMKG belum mampu bekerja optimal. Tanpa dukungan anggaran dan penguatan kapasitas sejak awal pemerintahan, sistem mitigasi berbasis teknologi yang dijanjikan negara belum benar-benar hadir di tengah masyarakat.

Situasi ini semestinya menjadi bahan refleksi serius. Sumatra hari ini adalah potret kegagalan dalam memprioritaskan mitigasi dan perlindungan lingkungan. Jika arah kebijakan tidak segera dikoreksi, maka bencana ekologis akan terus berulang dan masyarakatlah yang menanggung seluruh risikonya.

Agar Sumatra tidak terus menjadi korban dari kebijakan yang “Sangat Kurang” (hanya mencapai 3% dari target maksimal dalam setahun) , rapor ini menawarkan Strategi Kilat 5 Tahun yang harus segera diambil:

  • Reformasi Hukum Berbasis Kepakaran: Memastikan hukum tidak lagi bisa dibeli sehingga korporasi penyebab kerusakan lingkungan di Sumatra mendapatkan sanksi yang tegas.
  • Transformasi Birokrasi Digital: Menggunakan teknologi untuk memutus rantai korupsi dalam perizinan lahan dan mempercepat sistem peringatan dini bencana secara transparan.
  • Pendidikan Politik dan Konstitusi: Menggunakan media negara (TV, Radio, Media Sosial) secara masif untuk menyebarluaskan kesadaran moral dan tanggung jawab warga terhadap kelestarian alam.

Negara tidak boleh terus bersikap reaktif. Reformasi penegakan hukum lingkungan, digitalisasi birokrasi perizinan lahan, serta pendidikan publik tentang tanggung jawab ekologis harus menjadi agenda mendesak. Tanpa langkah tegas dan terukur, visi besar Asta Cita hanya akan menjadi slogan, sementara Sumatra terus membayar harga mahal dari kelalaian negara.

*Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute