Jakarta, aktual.com – Analis hukum dan politik Boni Hargens membeberkan berbagai kelemahan fundamental dalam pendekatan logika Tim Komite Reformasi Polri dalam merespons Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025. Menurut Boni Hargens, terdapat 5 kesesatan berpikir atau logical fallacies dalam argumentasi Komite Reformasi Polri yang menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan secara fundamental dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Logical fallacies adalah kesalahan dalam penalaran yang membuat argumen menjadi tidak valid atau menyesatkan. Dalam konteks hukum, keberadaan fallacies ini sangat problematis karena dapat mengaburkan fakta, memanipulasi emosi, dan mengalihkan perhatian dari isu substantif yang seharusnya menjadi fokus pembahasan,” ujar Boni Hargens dalam keterangannya, Jumat (19/12/2025).
Kesalahan-kesalahan logika ini, kata Boni, tidak hanya melemahkan argumentasi secara akademis, tetapi juga berdampak pada kualitas diskursus publik. Menurut Boni, ketika tokoh-tokoh berpengaruh menggunakan argumentasi yang mengandung fallacies, hal ini dapat mempengaruhi opini publik secara tidak fair dan menciptakan polarisasi yang tidak didasarkan pada pemahaman hukum yang akurat.
“Ada lima bentuk kelemahan argumentasi Komite Reformasi Polri yang kami temukan dalam merespons Perpol 10/2025 yaitu argumentasi ad hominem, logika straw man, false dilemma, red herring, dan appeal to emotion,” tutur Boni.
Pertama, Boni Hargens melihat adanya argumen ad hominem yaitu pandangan yang menyerang pribadi daripada gagasan. Salah satu kesalahan logika paling mendasar yang muncul dalam argumentasi Komite Reformasi Polri adalah penggunaan ad hominem, yaitu serangan terhadap karakter atau kredibilitas pembuat kebijakan daripada menganalisis substansi dari Perpol itu sendiri.
“Fallacy ini sangat merusak karena mengalihkan fokus diskusi dari konten hukum yang seharusnya dievaluasi. Dalam beberapa kesempatan, kritik terhadap Perpol dimulai dengan mempertanyakan integritas atau motif dari para pembuat kebijakan di internal Polri,” kata dia.
Hargens menilai argumentasi seperti ‘peraturan ini dibuat oleh pihak yang memiliki kepentingan mempertahankan status quo,’ adalah contoh klasik ad hominem yang tidak menyentuh substansi peraturan itu sendiri. Komite Reformasi Polri, kata dia, sering mengaitkan Perpol dengan track record negatif institusi Polri secara umum, seolah-olah segala sesuatu yang berasal dari institusi tersebut otomatis bermasalah.
“Ad hominem mengabaikan prinsip fundamental dalam analisis hukum bahwa setiap peraturan harus dievaluasi berdasarkan kontennya, bukan berdasarkan siapa yang membuatnya. Pendekatan ini mengalihkan perhatian dari analisis substantif tentang apakah Perpol benar-benar bertentangan dengan putusan MK atau tidak. Lebih jauh lagi, ad hominem menciptakan atmosfer diskusi yang tidak sehat di mana orang lebih fokus pada menyerang lawan bicara daripada mencari kebenaran,” tutur Boni Hargens.
Kedua, kata Boni Hargens, argumentasi ‘orang-orangan sawah’ atau Straw Man yaitu memelintir isi Perpol untuk memudahkan penolakan. Straw man fallacy terjadi ketika seseorang mendistorsi, melebih-lebihkan, atau menyederhanakan argumen lawan secara tidak akurat agar lebih mudah diserang. Ini adalah salah satu kesalahan logika yang paling umum dan berbahaya dalam perdebatan hukum.
Dalam konteks perdebatan Perpol Nomor 10 Tahun 2025, kata Hargens, Komite Reformasi Polri sering kali menyederhanakan isi Perpol dengan cara yang tidak akurat. Mereka menggambarkan peraturan tersebut seolah-olah secara total mengabaikan atau melawan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal kenyataannya Perpol mengakomodasi beberapa aspek putusan MK secara selektif dengan interpretasi tertentu.
“Hukum konstitusional penuh dengan nuansa dan interpretasi. Dengan mengabaikan kompleksitas ini dan menyajikan Perpol sebagai hitam-putih melawan MK, Komite menciptakan straw man yang mudah diserang tetapi tidak akurat merepresentasikan realitas hukum yang ada,” jelas dia.
Ketiga, false dilemma yaitu menyajikan pilihan hitam-putih tanpa alternatif. Boni Hargens menilai Komite Reformasi Polri sering menyajikan situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan, Perpol bertentangan dengan MK dan harus dibatalkan sepenuhnya, atau Perpol diterima dan putusan MK diabaikan.
“Dikotomi ini mengabaikan spektrum solusi yang ada di antaranya. Kenyataannya, ada berbagai opsi seperti revisi parsial, penyesuaian pasal-pasal tertentu, atau interpretasi hukum yang lebih fleksibel yang dapat menyelaraskan Perpol dengan putusan MK tanpa pembatalan total. False dilemma adalah kesalahan logika di mana seseorang menyajikan situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan ekstrem, padahal sebenarnya ada banyak alternatif di antaranya,” kata dia.
Boni Hargens menegaskan hukum konstitusional jarang bersifat hitam-putih. Biasanya ada ruang untuk interpretasi, penyesuaian, dan harmonisasi yang memungkinkan berbagai instrumen hukum untuk bekerja bersama meskipun ada ketegangan tertentu. Dengan menyempitkan pilihan menjadi “batalkan atau terima,” kata dia, Komite mengabaikan kompleksitas ini dan menciptakan situasi konfrontasional yang tidak perlu.
Keempat, lanjut Hargens, red herring yakni mengalihkan isu utama dengan topik lain yang mungkin tak relevan. Red herring adalah taktik argumentasi di mana pembicara memperkenalkan topik yang tidak relevan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama yang sedang diperdebatkan. Dalam konteks perdebatan Perpol Nomor 10 Tahun 2025, menurut Boni, kesalahan logika ini sangat sering muncul dan sangat efektif dalam mengaburkan fokus diskusi yang seharusnya spesifik dan substantif.
“Diskusi dialihkan ke kritik umum terhadap institusi Polri, sejarah pelanggaran HAM, atau isu-isu reformasi yang lebih luas yang tidak secara langsung berhubungan dengan konten Perpol. Fokus pembahasan menjadi kabur, dan pertanyaan hukum spesifik yang seharusnya dijawab tidak pernah ditangani secara memadai,” ungkap dia.
Hargens mengatakan red herring sangat efektif karena topik-topik yang diangkat sering kali legitimate dan penting dalam konteks yang lebih luas. Isu korupsi, pelanggaran HAM, dan kebutuhan reformasi institusional memang adalah concern yang valid. Namun, ketika topik-topik ini digunakan untuk menghindari pertanyaan spesifik tentang kesesuaian Perpol dengan putusan MK, mereka menjadi red herring yang mengaburkan diskusi hukum yang seharusnya terfokus.
“Red herring mencegah diskusi yang produktif dan penyelesaian masalah yang konstruktif. Ketika isu utama tidak pernah ditangani secara langsung, tidak mungkin untuk mencapai pemahaman bersama atau solusi yang memuaskan semua pihak,” ujar dia.
Terakhir, kata Hargens, Appeal to Emotion artinya memanfaatkan sentimen publik untuk menarik dukungan terhadap argument yang dibangun. Hargens mengatakan appeal to emotion adalah kesalahan logika di mana argumen bergantung pada manipulasi perasaan audiens—seperti ketakutan, kemarahan, atau simpati—daripada pada bukti dan penalaran yang rasional.
“Dalam konteks argumentasi Komite Reformasi Polri terhadap Perpol Nomor 10 Tahun 2025, taktik ini sangat menonjol dan berpotensi memanipulasi opini publik tanpa dasar hukum yang kuat. Menciptakan narasi di mana masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu digambarkan sebagai korban dari Perpol, tanpa menunjukkan secara konkret bagaimana peraturan tersebut akan merugikan mereka secara hukum,” terang Hargens.
Untuk memahami secara konkret bagaimana kesalahan-kesalahan logika yang dimaksud mempengaruhi perdebatan tentang Perpol Nomor 10 Tahun 2025, Boni Hargens membandingkan pandangannya dengan pandangan Mahfud MD sebagai representasi Komite Reformasi Polri. Mahfud MD, kata Boni, menilai bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi karena dianggap melemahkan mekanisme pengawasan eksternal terhadap institusi kepolisian. Mahfud MD berpendapat bahwa peraturan ini mengembalikan kewenangan berlebihan kepada internal Polri dan mengabaikan prinsip checks and balances yang ditekankan oleh MK.
Boni Hargens memberikan interpretasi yang berbeda dengan Mahfud MD, yakni Perpol justru memperkuat implementasi putusan MK dengan menyediakan mekanisme internal yang lebih jelas, terstruktur, dan accountable. Boni berpendapat bahwa apa yang dilihat sebagai “melemahkan pengawasan eksternal” sebenarnya adalah “memperjelas mekanisme operasional” yang tetap sejalan dengan prinsip-prinsip MK.
“Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa kualitas argumentasi sangat bergantung pada metodologi yang digunakan. Ketika argumen dibangun dengan menghindari logical fallacies dan fokus pada analisis substantif, hasilnya adalah diskusi yang lebih produktif dan informatif. Sebaliknya, ketika argumen bergantung pada emosi, generalisasi, dan penyederhanaan, seperti yang sering muncul dalam pendekatan Mahfud MD dan Komite Reformasi Polri, hasilnya adalah perdebatan yang polarized dan kurang konstruktif,” pungkas Boni Hargens.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















