Ilustrasi Susu/Antara
Ilustrasi Susu/Antara

Jakarta, aktual.com – Konsumsi minuman manis pada anak usia sekolah terus meningkat. Di balik label “susu”, produk seperti susu UHT berperisahingga susu kental manis justru menjadi salah satu sumber gula tersembunyi yang kerap luput dari perhatian orang tua.

Produk-produk ini masih sering diperlakukan sebagai minuman harian anak karena melekat pada citra gizi dan kesehatan. Padahal, kandungan gula tambahan di dalamnya cukup signifikan, terutama jika dikonsumsi secara rutin.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa minuman merupakan sumber utama asupan gula tambahan pada anak dan remaja. Susu UHT berperisa, yang mengandung gula dan perisa tambahan, kerap lolos dari pengawasan karena masih dikategorikan sebagai susu.

Persepsi tersebut diperkuat oleh strategi pemasaran produk yang menonjolkan visual pertumbuhan, energi, dan kesehatan, serta penempatan produk yang berdampingan dengan susu tanpa gula tambahan.

Dokter Novi Indriastuti dari Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa kontribusi gula terbesar pada kelompok usia anak dan remaja berasal dari minuman.

“Asupan gula tambahan paling banyak berasal dari minuman,” ujar Dr. Novi dalam Webinar Series UKS/M: Penguatan Edukasi Gula, Garam, Lemak untuk Wujudkan Peserta Didik Sehat, Jumat (12/12/2025).

Ia menekankan, konsumsi minuman dengan tambahan gula, termasuk susu UHT berperisa, perlu dikendalikan sejak usia sekolah.

*Susu Kental Manis Lebih Berisiko*

Masalah menjadi lebih serius ketika susu kental manis masih disalahartikan sebagai susu minum anak. Padahal, produk ini memiliki kandungan gula jauh lebih tinggi dan tidak dirancang sebagai minuman harian.

Namun dalam praktiknya, susu kental manis masih sering diminum langsung, dicampur air, atau menjadi bagian dari konsumsi rutin anak di rumah maupun lingkungan sekitar.

Dalam pengendalian konsumsi gula, posisi susu kental manis berada pada kategori paling bermasalah. Jika susu UHT berperisa saja perlu dibatasi, maka konsumsi kental manis membawa risiko yang lebih besar terhadap kelebihan asupan gula sejak dini.

Pakar gizi komunitas, Dr. Tan Shot Yen, menilai kebingungan publik terkait makanan dan minuman anak tidak lepas dari cara produk diproses dan dipasarkan sebagai pangan bergizi.

Ia pernah membandingkan segelas 200 mililiter susu UHT rasa stroberi dengan lemper. Keduanya sama-sama mengandung sekitar 6 gram protein. Namun, kandungan susu pada minuman UHT berperisa tersebut hanya sekitar 7,8 persen, berasal dari susu bubuk yang dilarutkan kembali dan ditambah berbagai bahan tambahan.

Sebaliknya, lemper tersusun dari bahan yang lebih sederhana dan minim proses.

Risiko Obesitas Anak

Data menunjukkan sekitar 11 persen asupan kalori anak dan remaja berasal dari minuman bergula. Konsumsi satu kemasan minuman manis per hari bahkan dapat meningkatkan risiko obesitas anak hingga 60 persen.

Di sisi lain, produk-produk ini mudah diakses, harganya terjangkau, dan informasi kandungan gula pada label gizi sering kali tidak dibaca atau dipahami.

Secara nasional, 28,7 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi gula melebihi batas anjuran. Pada anak usia sekolah, batas aman konsumsi gula harian kerap terlampaui hanya dari minuman.

Ketika produk tinggi gula terus dipersepsikan sebagai “susu” yang identik dengan kesehatan, tanggung jawab tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada konsumen.

Kejelasan informasi, pembatasan framing yang menyesatkan, serta penempatan produk sesuai fungsi nutrisinya menjadi bagian dari tanggung jawab bersama antara industri, pembuat kebijakan, dan pengelola program kesehatan.

Tanpa koreksi serius, anak-anak akan terus menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak jangka panjang konsumsi gula berlebih.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain