Jakarta, Aktual.com – Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyatakan, penanganan pelanggaran Pilkada 2024 menghadapi tantangan signifikan, terutama pada aspek koordinasi antarinstansi dan keterbatasan kewenangan pengawas. Ia menjelaskan, penanganan pelanggaran banyak bergantung pada laporan dan temuan jajaran Bawaslu di tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota.

“Pada awal tahapan, pengawasan netralitas aparatur sipil negara (ASN) belum berjalan optimal karena keterlibatan instansi terkait belum maksimal. Awalnya agak sulit, tapi setelah BKN aktif, prosesnya bisa berjalan lebih baik,” ujar Bagja, saat talk Show
“Merajut Keadilan Potret Penanganan Pelanggaran Pilkada 2024”, Senin (22/12/2025).

Ia menegaskan, kepala desa tetap dilarang melakukan kampanye meskipun diperbolehkan menjadi anggota partai politik. Namun, batasan aktivitas politik tersebut kerap menyulitkan pembuktian di lapangan. Rahmat juga menyoroti krusialnya peran pengawas dalam mengelola laporan dan temuan, termasuk dari pemantau pemilu.

“Kalau pengawas dihilangkan, itu jadi persoalan,” katanya.

Menurut Rahmat, fungsi pencegahan dan pendidikan politik tidak boleh dilepaskan dari peran Bawaslu. Ia menilai tidak logis jika lembaga pengawas hanya difokuskan pada urusan administrasi. “Pencegahan dan pendidikan itu penting,” tegasnya.

Bawaslu, lanjut dia, telah menyampaikan rekomendasi penguatan kelembagaan kepada DPR dan pemerintah, termasuk terkait perubahan peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Ia mengingatkan, pengurangan fungsi pengawasan akan berdampak langsung pada pengawasan di TPS, rekapitulasi suara, hingga penggalian informasi.

“Keterangan Bawaslu dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) itu penting,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI Puadi menyampaikan refleksi penanganan pelanggaran Pilkada 2024 melalui peluncuran buku Merajut Keadilan. Buku tersebut menghimpun 32 tulisan terpilih dari 155 naskah yang dikirim Bawaslu daerah.

“Ini memotret penanganan pelanggaran,” kata Puadi.

Ia mengakui masih terdapat keterbatasan, khususnya dalam penanganan politik uang karena Bawaslu tidak memiliki upaya paksa terhadap pihak yang mangkir dari panggilan.

Di sisi lain, Peneliti Utama Badan Riset Inovasi dan Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai wacana Pilkada melalui DPRD masih relevan dengan sejumlah perbaikan mendasar. Menurutnya, mekanisme tersebut harus melibatkan tokoh masyarakat dan civil society sebagai panelis seleksi.

“Masyarakat tidak ditinggalkan,” ujarnya.

Siti menilai, orientasi Pilkada perlu digeser dari popularitas menuju integritas dan kualitas. Ia menyoroti maraknya politik uang dan praktik transaksional yang terus berulang sejak Pilkada langsung digelar.

“Integritas dan kualitas itu yang utama,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi