Jakarta, aktual.com – Dosen Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Amir Karyatin menyarankan para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan pendekatan kultural sebagai bentuk penyelesaian alternatif kasus ijazah Presiden Ke-7 RI Joko Widodo, selain menempuh jalur hukum.

Menurutnya, gagasan tersebut tidak dimaksudkan untuk menegasikan hukum positif maupun norma agama, tetapi sebagai upaya meredakan ketegangan sosial yang kian meluas.

“Perdebatan yang tak kunjung selesai justru berpotensi memperkeruh suasana dan menjauhkan substansi persoalan dari kepentingan publik yang lebih besar,” ucap Amir dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Pendekatan kultural adalah metode memahami atau menganalisis fenomena sosial, perilaku, atau materi (seperti pendidikan, dakwah, keperawatan) dengan menggunakan lensa budaya.

Lensa budaya dimaksud, yaitu nilai, norma, tradisi, bahasa, dan cara pandang khas suatu kelompok masyarakat sebagai pedoman utama, agar solusi atau interaksi yang diberikan relevan, efektif, dan diterima, bukan hanya melihat dari sisi universal atau struktural saja.

Amir mengatakan sengketa hukum berlarut dalam kasus tersebut berpotensi memperdalam polarisasi di masyarakat dan menjadi kerugian bagi bangsa.

Apalagi dalam sengketa ijazah itu, tidak ada pihak yang benar-benar diuntungkan, apalagi memberi kontribusi positif bagi bangsa Indonesia.

“Perdebatan ini justru menyisakan kegaduhan sosial,” ungkapnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Unkris Prof. Soetomo berpendapat dalam perspektif keagamaan Islam, penyelesaian sengketa lebih menekankan pada pencarian kebenaran secara bertanggung jawab dan menghindari berbagai praktik yang berpotensi menimbulkan kontroversi teologis di tengah masyarakat.

Menurut dia, tidak semua tradisi lokal dapat diterima secara universal, terutama jika menimbulkan perbedaan tafsir dalam ajaran agama.

“Oleh karena itu, penyelesaian polemik publik sebaiknya tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, rasionalitas, dan kepentingan persatuan sosial,” kata Prof. Soetomo.

Sebelumnya, kuasa hukum Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar dan Tifauzia Tyassuma, meminta Polda Metro Jaya untuk melakukan uji forensik ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi) dilakukan secara independen.

“Meminta agar dilakukan uji laboratorium forensik yang bersifat independen, dengan hasil yang kredibel, transparan, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak,” kata kuasa hukum Roy Suryo dkk, Khozinudin saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Senin (22/12).

Khozinudin menjelaskan permintaan uji forensik independen ini berangkat dari pengalaman dalam berbagai kasus besar yang menunjukkan adanya anomali dalam proses penegakan hukum.

Adapun Polda Metro Jaya menyebutkan hasil gelar perkara khusus yang diajukan oleh Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar dan Tifauzia Tyassuma, tetap memutuskan mereka sebagai tersangka.

“Terhadap penetapan tersangka yang sudah kami lakukan, apabila para tersangka atau kuasa hukum keberatan maka dipersilahkan untuk melakukan pengujian melalui mekanisme pra peradilan sebagaimana yang sudah diatur dalam KUHAP,” kata Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Iman Imanuddin saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/12).

Iman menjelaskan gelar perkara khusus yang diselenggarakan pada Senin (15/12) pukul 10.30 – 22.10 WIB tersebut juga dihadiri oleh pengawas eksternal, internal, para prinsipiel, Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM dan Komisi Nasional Perempuan.

“Hal tersebut dilakukan untuk menjamin transparansi profesionalitas dan proporsionalitas,” katanya.

Sementara itu, terkait keaslian ijazah milik pelapor, Iman menjelaskan telah menunjukkan ijazah atas nama Joko Widodo.

“Sekali lagi, kami sampaikan kepada rekan-rekan bahwa pada kesempatan gelar perkara tersebut, penyidik telah menunjukkan ijazah atas nama Joko Widodo yang diterbitkan oleh Fakultas Kehutanan UGM,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain