Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan. ANTARA/HO-DPR
Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan. ANTARA/HO-DPR

Jakarta, aktual.com – Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan mengatakan pembukaan lahan kelapa sawit di Papua harus mempertimbangkan keselamatan lingkungan dan keadilan sosial agar tidak menimbulkan dampak buruk yang merugikan masyarakat.

Johan dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu (24/12), mendorong pemerintah melakukan kajian lingkungan hidup strategis secara terbuka sebelum merealisasikan rencana besar pembangunan energi di Papua.

“Imbauan saya jelas, pembangunan energi harus sejalan dengan keselamatan lingkungan dan keadilan sosial. Papua bukan laboratorium coba-coba kebijakan. Sekali salah langkah, dampaknya bisa jauh lebih serius dan sulit dipulihkan,” ucapnya.

Selain kajian, legislator yang mengurusi bidang lingkungan hidup itu juga menekankan pentingnya audit menyeluruh terhadap perizinan lahan serta pelibatan masyarakat adat Papua sebagai subjek utama pembangunan.

Menurut dia, wacana penanaman kelapa sawit di Papua tidak boleh dipandang dari sisi ekonomi atau ketahanan energi semata, tetapi juga harus diuji secara serius dari aspek ekologi, sosial, dan tata kelola lahan.

Johan mengatakan sawit bukan tanaman yang otomatis salah, namun risikonya besar jika ditanam tanpa perencanaan ekologis yang ketat serta tanpa menghormati daya dukung lingkungan dan hak masyarakat adat.

“Pengalaman bencana ekologis di Aceh dan Sumatera harus menjadi pelajaran nasional,” ucap Johan.

Dia mengatakan Papua memiliki karakter ekologis yang sensitif dengan hutan alam yang luas, wilayah adat yang kompleks, serta fungsi hidrologi yang jauh lebih rentan dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Oleh sebab itu, menurut Johan, kebijakan penanaman sawit di Papua tidak bisa disamakan dengan pendekatan yang diterapkan di wilayah lain.

“Papua itu berbeda. Pendekatan pembangunan harus berbasis kehati-hatian, berbasis ilmu pengetahuan, dan berbasis penghormatan terhadap masyarakat adat,” ujar Johan.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen mewujudkan swasembada energi nasional guna mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).

Hal itu disampaikan Prabowo dalam arahannya kepada kepala daerah se-Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP OKP) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12).

Baca juga: Mentan sebut Papua Barat jadi contoh hilirisasi kelapa sawit

Prabowo mengatakan impor BBM Indonesia saat ini mencapai Rp520 triliun per tahun. Negara berpotensi menghemat Rp250 triliun apabila ketergantungan impor bisa dikurangi setengahnya.

Pada 2026, pemerintah mulai mengambil langkah konkret dengan menargetkan tidak lagi melakukan impor solar. Selanjutnya, pemerintah juga menargetkan Indonesia tidak lagi impor bensin.

Menurut Kepala Negara, hal tersebut “sangat mampu” untuk diwujudkan, mengingat Indonesia memiliki potensi sumber energi baru terbarukan (EBT) di berbagai daerah, termasuk Papua.

Prabowo pun menyebut pemerintah telah menyiapkan kebijakan agar daerah penghasil energi dapat menikmati langsung manfaat dari energi yang diproduksi di wilayahnya sendiri. Pengembangan EBT disebut menjadi kunci utama.

Selain EBT, dia juga mendorong pemanfaatan energi berbasis bioenergi melalui pengembangan kelapa sawit, tebu, dan singkong sebagai bahan baku biodiesel dan bioetanol.

“Ini semua adalah supaya ada kemandirian tiap daerah. Kalau ada tenaga surya dan tenaga air, tidak perlu kirim-kirim BBM mahal-mahal dari daerah-daerah dan juga nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol,” kata Prabowo.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain