Momen penyerahan uang sitaan Rp13 triliun dari Jaksa Agung ST Burhanuddin ke Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Kejagung, Senin (20/10/2025). Aktual/BPMI. Setpres

Jakarta, Aktual.com — Aksi Kejaksaan Agung (Kejagung) memamerkan tumpukan uang sitaan senilai Rp6,6 triliun menuai kritik keras dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga antirasuah itu menilai langkah tersebut tidak menyentuh substansi pemberantasan korupsi dan berpotensi menyesatkan persepsi publik.

Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menyebut pamer uang rampasan negara hanya bersifat simbolik dan lebih kental nuansa pencitraan ketimbang upaya nyata memulihkan kerugian keuangan negara.

“Upaya memamerkan uang hasil rampasan merupakan langkah yang tidak substansial dan hanya bersifat pencitraan belaka,” ujar Wana dalam keterangan tertulis, Kamis (25/12/2025).

Secara analitis, ICW menilai Kejagung dan aparat penegak hukum belum optimal dalam pengawasan serta pelacakan aset hasil kejahatan korupsi, khususnya yang berkaitan dengan lahan perkebunan ilegal dan lahan tambang ilegal. Padahal, sektor-sektor tersebut menjadi sumber kerugian negara terbesar dalam satu dekade terakhir.

Berdasarkan Laporan Tren Vonis Korupsi ICW Desember 2025, nilai kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi mencapai sekitar Rp300 triliun. Namun, pengembalian ke kas negara hanya menyentuh angka 4,8 persen.

“Artinya, kinerja penegak hukum dalam merampas aset dan mengembalikan kerugian negara masih sangat rendah,” tegas Wana.

ICW menilai terdapat jurang lebar antara uang negara yang hilang dan yang berhasil dikembalikan. Karena itu, publik diminta tidak terkecoh dengan seremoni penyerahan uang bernilai triliunan rupiah.

“Jangan sampai masyarakat terkecoh dengan angka miliaran atau triliunan yang dipamerkan, padahal itu hanya sebagian kecil dari ratusan triliun yang belum kembali,” tambahnya.

Sebelumnya, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menyerahkan dana sebesar Rp6.625.294.190.469,74 kepada negara pada Rabu (24/12/2025). Dana tersebut berasal dari denda pelanggaran lahan sawit ilegal, tambang nikel ilegal, serta kasus korupsi timah.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi