Jakarta, Aktual.com – Keputusan BPI Danantara mengakuisisi lahan dan hotel Novotel Makkah Thakher City di Kota Mekkah, Arab Saudi, disebut sebagai langkah keliru dan berisiko. Keputusan itu dinilai berpotensi menimbulkan kerugian dan menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Pengamat BUMN Herry Gunawan menyampaikan hal ini, dalam keterangannya, Jumat (26/12/2025).
Menurut Herry, dari sisi bisnis haji adalah peristiwa musiman, rata-rata sekitar satu bulan setiap tahun. Sementara, masih ada 11 bulan hotel itu akan sepi, sedangkan biaya operasional -baik yang tetap maupun variabel- mesti ditanggung.
“Jadi, laba saat musim haji bisa minus karena digunakan untuk nombok biaya operasional setahun,” paparnya.
Herry menyampaikan, kalau pun penginapan jemaah haji bisa dikontrol, misalnya wajib berdomisili di hotel milik Danantara, maka hanya mampu menampung 4.383 jemaah haji, sesuai kapasitas hotel. Sementara, jumlah jemaah haji bisa mencapai 200 ribu orang.
“Kalau yang diincar adalah jemaah umrah yang tidak musiman, bisa kapan saja, maka mekanisme pasar akan berlaku. Penyelenggara umrah tidak bisa dipaksa gunakan hotel milik Danantara. Pilihan mereka tergantung yang lebih efisien, baik dari sisi harga, lokasi maupun kenyamanan,” ucap Herry.
Direktur NEXT Indonesia Center ini juga menyampaikan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025, mandat Danantara adalah mengakselerasi investasi di dalam negeri.
“Untuk mewujudkan mandat itu, yang penting untuk dilakukan Danantara adalah mengakselerasi investasi di dalam negeri. Ini justru lebih penting diperhatikan oleh Danantara. Jangan diabaikan,” ucap Herry.
Dalam 20 tahun terakhir, ungkapnya, rata-rata kontribusi investasi terhadap PDB Indonesia hanya 29% per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,0% per tahun. Capaian ini harus didongkrak, seperti India dan China, yang masing-masing kontribusi investasi terhadap PDB rata-rata di atas 30% dan 40% per tahun. Pertumbuhan ekonomi mereka rata-rata 6-8% per tahun.
“Selama ini, kontribusi investasi di dalam negeri, sekitar 85% berasal dari swasta. Dari pemerintah dan Danantara hanya sisanya. Ini pekerjaan rumah yang seharusnya juga jadi prioritas Danantara, yaitu mengakselerasi investasi di dalam negeri -baik melalui BUMN maupun bekerja sama dengan swasta- untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional alih-alih beli properti dan lahan di Arab Saudi,” paparnya.
Selain itu, kata Herry, ada persoalan tata kelola dari pembelian hotel di Mekkah tersebut. Menurutnya, untuk menjaga stabilisasi harga sewa tempat tinggal bagi jemaah haji, tidak harus memiliki properti.
“Sewa jangka panjang misalnya 10 tahun, justru bisa lebih rasional, karena bisa berbagi risiko dengan pemilik hotel. Biaya juga bisa terkelola dengan baik,” ujar Herry.
Terlebih, status perusahaan yang diakuisisi oleh Danantara harus menjadi BUMN, sehingga menjadi objek audit BPK. Saat ini, status hotel tersebut masih bermakna ganda. “Mau disebut BUMN (sesuai UU BUMN 16/2025), tapi pemegang sahamnya bukan Negara. Atau, belum ada hak istimewa yang dimiliki Negara, seperti saham merah putih,” katanya.
Karena itu, Herry menilai, ada potensi kerugian dalam akuisisi hotel dan lahan itu yang bisa berpotensi menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Butuh Rp8,33 triliun
Sebelumnya, Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani mengatakan nilai investasi awal pemerintah Indonesia dalam pengembangan Kampung Haji Indonesia di Mekah, Arab Saudi, mencapai lebih dari 500 juta dolar AS atau setara Rp8,33 triliun.
“Nilai pembeliannya total itu adalah 500 juta dolar lebih sedikit,” katanya seusai menyampaikan laporan kepada Presiden RI Prabowo Subianto di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (17/12/2025).
Rosan yang juga CEO Danantara mengatakan hotel yang diakuisisi pemerintah RI terdiri atas tiga tower setinggi 28 lantai di kawasan Tahrir, dengan luas lahan hotel sekitar 4.620 meter persegi.
Selain hotel, kata Rosan, pemerintah juga telah membeli lahan seluas sekitar 4,4 hektare di area yang sama. Dengan demikian, total luas kawasan Kampung Haji Indonesia yang telah dikuasai mencapai sekitar 5 hektare.
Lahan tersebut direncanakan menjadi lokasi pengembangan tahap lanjutan berupa pembangunan 13 tower tambahan serta satu pusat perbelanjaan untuk melayani kebutuhan jamaah haji dan umrah Indonesia.
Untuk pengembangan lanjutan tersebut, Rosan menyebut estimasi kebutuhan investasi masih bersifat tentatif, yakni berkisar antara 700 hingga 800 juta dolar AS.
Sementara itu, nilai penawaran atau bidding untuk pembelian tanah secara keseluruhan berada di kisaran 750 juta dolar AS.
“Paling nggak, ini adalah awal yang sangat baik. Inilah mandat yang diberikan kepada kami, sudah mulai kami laksanakan,” ujar Rosan.
Ia menambahkan, pembangunan di atas lahan yang baru diakuisisi ditargetkan dapat dimulai pada kuartal IV tahun depan.
Terkait pendanaan, Rosan menyatakan bahwa untuk tahap awal, termasuk proses pengambilalihan aset, sepenuhnya dibiayai oleh Danantara.
Ke depan, pihaknya terbuka untuk berkolaborasi dengan Kementerian Haji dan Umrah yang juga memiliki sumber pendanaan.
Menurut Rosan, seluruh proyek ini bertujuan meningkatkan kualitas fasilitasi bagi jamaah haji dan umrah Indonesia agar lebih nyaman dan layak.
“Pada intinya, bagaimana kita meningkatkan pelayanan kepada jamaah kita menjadi lebih baik dan lebih nyaman,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















