Jakarta, Aktual.com — Berbagai kalangan meminta PT Socfin Indonesia (Socfindo) untuk segera mengembalikan dugaan kelebihan seluas 683 hektare (ha) lahan ke masyarakat Desa Simpang Gambus, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara, Sumatra Utara.
Senator asal Sumatra Utara Penrad Siagian menyampaikan dirinya mendampingi masyarakat Simpang Gambus untuk memperjuangkan tanah tersebut jauh sebelum menjadi anggota DPD RI. Baginya, perjuangan ini bukan sekadar soal legalitas, melainkan soal kemanusiaan dan keadilan sosial.
“Negara tidak boleh berdiri di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Keberpihakan kepada petani harus nyata, bukan hanya janji di atas kertas,” tegas Penrad dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/12/2025).
Ia pun mendesak Kementerian ATR/BPN agar tidak memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo tanpa menyelesaikan seluruh klaim dan hak masyarakat secara adil dan transparan.
Menurutnya, masa berlaku HGU perusahaan perkebunan tersebut akan berakhir pada 31 Desember 2025. Berakhirnya proses pembaharuan HGU pada akhir tahun ini merupakan momentum krusial.
“Proses pembaharuan atau deadline-nya berakhir 31 Desember 2025. Dengan demikian, tanah masyarakat yang diambil oleh PT. Socfindo harus dikembalikan kepada masyarakat. Ini adalah hak rakyat,” tegas Penrad.
Penrad menyampaikan, konflik agraria di Simpang Gambus bukan persoalan baru. Masyarakat Desa Simpang Gambus selama bertahun-tahun memperjuangkan hak atas tanah yang mereka kelola secara turun-temurun.
Penrad menilai, keberpihakan negara kepada petani dan rakyat kecil harus diwujudkan melalui kebijakan konkrit, bukan sekadar janji.
Diketahui, sengketa lahan antara masyarakat Simpang Gambus dan PT. Socfindo telah berlangsung puluhan tahun. Pada tahun 1970-an, masyarakat setempat mengaku digusur paksa oleh PT. Socfindo. Diduga, perusahaan melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat saat itu.
Perjuangan Puluhan Tahun
Pengusiran masyarakat dari lahan tersebut tidak lepas dari isu PKI. Mereka akan disebut kelompok PKI jika tidak meninggalkan tempat itu. Pihak perusahaan pun membongkar paksa rumah warga sebanyak 461 Kepala Keluarga (KK) dengan luasan tanah mencapai 483 ha.
HGU PT Socfindo Lima Puluh yang sebelumnya 1.418,65 ha bertambah menjadi 1.614,5 ha. Selain itu, terdapat kelebihan lahan lebih kurang 200 ha. Total dugaan kelebihan lahan yang ditemukan mencapai sekitar 683 ha. Padahal, lahan tersebut telah menjadi lahan pertanian milik masyarakat sejak tahun 1942.
Penrad mengungkapkan, sejak era reformasi masyarakat kembali melakukan perlawanan untuk meminta PT. Socfindo mengembalikan tanah yang telah mereka tinggali dan kelola selama puluhan tahun.
“Tanah ini bukan sekadar hamparan kebun. Di sini ada sejarah, ada kehidupan, ada air mata dan keringat rakyat. Ketika HGU berakhir, negara tidak boleh lagi membiarkan ketidakadilan ini berlanjut,” ujar Penrad.
Baca juga:
Pemerintah Diminta Hentikan Pembaruan HGU PT Socfindo di Kab Batu Bara Sumut
Kejagung Diminta Usut Kelebihan Lahan PT Socfindo
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Alwi Hasbi Silalahi, meminta Kejaksaan Agung untuk segera turun tangan mengusut dugaan kelebihan lahan tersebut secara menyeluruh.
“Dugaan kelebihan penguasaan lahan oleh PT Socfindo dinilai bukan lagi persoalan agraria biasa, melainkan telah masuk ke ranah hukum serius yang menyangkut keadilan publik dan potensi kerugian negara,” papar Alwi.
Menurutnya, jika benar ada kelebihan penguasaan lahan hingga ratusan hektare, maka hal itu bukan masalah kecil. “Ini persoalan hukum yang menyangkut hak masyarakat, tata kelola pertanahan, dan potensi kerugian negara,” ujar Alwi.
Menurut Alwi, sertifikat HGU PT Socfindo yang diterbitkan sejak tahun 1998 menguatkan dugaan bahwa kelebihan penguasaan lahan tersebut telah berlangsung lama dan dibiarkan tanpa penyelesaian yang jelas. Kondisi ini, kata dia, menimbulkan pertanyaan serius terkait pengawasan negara.
“Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana status pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan yang diduga berada di luar luasan resmi HGU itu. Apakah pajaknya dibayarkan atau tidak? Jika tidak, maka negara berpotensi mengalami kebocoran penerimaan selama bertahun-tahun,” tegasnya.
Alwi juga menilai, dugaan ini juga membuka kemungkinan adanya persoalan serupa di unit-unit perkebunan PT Socfindo lainnya. Diketahui, perusahaan tersebut beroperasi tidak hanya di Kabupaten Batubara, tetapi juga di Serdang Bedagai, Asahan, Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, serta sejumlah wilayah di Aceh seperti Aceh Singkil, Nagan Raya, dan Aceh Tamiang.
“Persoalan ini tidak boleh ditangani secara parsial. Harus ada pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh wilayah operasional Socfindo, termasuk kewajiban perpajakannya di masing-masing daerah,” katanya.
PB HMI, lanjut Alwi, memandang Kejagung memiliki kewenangan strategis untuk menelusuri dugaan pelanggaran yang berdampak pada keuangan negara. Penyelidikan tidak hanya perlu diarahkan kepada PT Socfindo sebagai pemegang HGU, tetapi juga terhadap otoritas terkait, termasuk instansi pertanahan dan kantor pajak.
“Kejagung harus memeriksa apakah ada kelalaian, pembiaran, atau bahkan dugaan pelanggaran hukum oleh pihak-pihak yang seharusnya melakukan pengawasan. Ini penting demi menjaga integritas tata kelola pertanahan dan perpajakan,” ujarnya.
Alwi juga menyinggung fakta historis bahwa PT Socfindo telah mengelola lahan sejak masa kolonial. Menurutnya, setelah Indonesia merdeka, seharusnya seluruh penguasaan dan pemanfaatan lahan dipastikan sesuai dengan hukum nasional dan berpihak pada kepentingan rakyat.
“Kasus ini menyangkut keadilan agraria, kepastian hukum, dan kedaulatan negara atas sumber daya agraria. Karena itu, pemeriksaan menyeluruh oleh aparat penegak hukum bukan hanya penting, tetapi mendesak untuk dilakukan,” pungkas Alwi Hasbi Silalahi.
Sebelumnya, Ketua DPRD Kabupaten Batu Bara, Safi’i juga pernah meminta agar pembaruan HGU PT Socfindo ditinjau ulang hingga konflik agraria antara perusahaan dan Kelompok Tani (Koptan) Perjuangan Desa Simpang Gambus terselesaikan.
Menurutnya, konflik yang sudah berlangsung lama antara masyarakat dan perusahaan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat, terutama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Kami harap Kementerian ATR/BPN menunda pembaruan HGU PT Socfindo Tanah Gambus hingga sengketa agraria dengan Koptan Perjuangan dapat diselesaikan,” tuturnya.
Safi’i menambahkan, DPRD Batu Bara akan terus memantau perkembangan kasus tersebut dan mendorong penyelesaian yang adil bagi masyarakat yang merasa terdampak.
Masih menurut Safi’i, Pemerintah Kabupaten Batu Bara telah menyurati Kementerian ATR/BPN melalui surat Bupati Batu Bara.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















