Jakarta, aktual.com – Surat Al-Quraisy merupakan surat pendek yang sarat dengan pesan tauhid, kesadaran penghambaan, serta relasi antara jaminan sosial-ekonomi dan ketaatan spiritual. Surat ini menegur, mengingatkan, sekaligus mengarahkan manusia agar tidak terjebak pada sebab-sebab lahiriah, tetapi kembali menyandarkan hidup sepenuhnya kepada Allah sebagai Rabb semesta alam.
Allah berfirman:
لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ ١
Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy,
اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ ٢
(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
Teguran atas Kenikmatan yang Dilupakan
Ayat pertama dan kedua ini merupakan teguran halus dari Allah kepada kaum Quraisy. Mereka hidup dalam jaminan keamanan dan kelancaran ekonomi melalui tradisi dagang musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam. Namun, kenikmatan itu justru membuat mereka lalai dari sumber utama segala jaminan: Allah sendiri.
Para mufasir menjelaskan bahwa kaum Quraisy mendapatkan keistimewaan besar: aman dalam perjalanan, dihormati oleh kabilah-kabilah Arab, serta dicukupi kebutuhan hidupnya. Sayangnya, nikmat tersebut tidak mengantarkan mereka pada kesadaran penghambaan yang sejati.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dalam tafsir isyari-nya, dikenal memiliki kedalaman pemahaman terhadap rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan dalam penafsiran basmalah, beliau tidak memahaminya secara seragam di setiap surat, melainkan menyesuaikan dengan konteks dan pesan spiritual masing-masing surat. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks, tetapi samudra makna yang hidup.
Dari Jaminan Dunia Menuju Kewajiban Ibadah
Allah kemudian menegaskan tujuan dari semua jaminan tersebut:
فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ ٣
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Ka‘bah).
Maknanya jelas: ketika keamanan dan kebutuhan hidup telah dijamin, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk lalai dari ibadah. Kesuksesan sosial dan ekonomi sejatinya memiliki korelasi erat dengan kesuksesan spiritual. Ibadah yang benar dan tulus akan melahirkan keberkahan hidup, meskipun tidak selalu dalam bentuk materi yang kasat mata.
Musim Dingin dan Panas: Simbol Perjalanan Ruhani
Dalam tafsir Syekh Ibnu ‘Ajibah, kata:
- الشِّتَاءِ dimaknai sebagai kesempitan dan kesusahan,
- الصَّيْفِ dimaknai sebagai kelapangan dan kemudahan.
Makna ini membuka dimensi isyari bahwa kehidupan manusia—termasuk perjalanan ruhani—tidak pernah lepas dari fase sempit dan lapang. Ada masa-masa sulit yang menghimpit, dan ada masa-masa kelapangan yang menenangkan.
Pesannya tegas: kesempitan bukan keadaan abadi. Jika hari ini seseorang berada dalam beban hidup dan kesulitan, maka dengan konsistensi ibadah dan keteguhan hati, Allah akan menghadirkan kelapangan pada waktunya.
Rumah Allah dan Rumah Hati
Secara tafsir isyari, frasa هٰذَا الْبَيْتِ tidak semata dimaknai sebagai Ka‘bah secara fisik, melainkan juga melambangkan bait al-qalb (rumah hati) para pencari Allah. Banyak manusia hidup tanpa arah karena rumah hatinya belum “aktif”—belum sadar sepenuhnya akan posisinya sebagai hamba.
Mengaktifkan rumah hati berarti menghidupkan makna Bismillāhirraḥmānirraḥīm secara nyata: menyandarkan diri kepada Allah secara total, beribadah dengan keikhlasan, dan menjadikan Allah sebagai pusat orientasi hidup.
Jaminan dari Rasa Lapar dan Takut
Allah menutup surat ini dengan penegasan jaminan-Nya:
الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ
Yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.
Dua ketakutan terbesar manusia adalah kelaparan dan ketidakamanan. Ayat ini menegaskan bahwa siapa pun yang benar-benar menyembah Allah, mengaktifkan hati dengan penghambaan total, maka Allah akan menjamin kecukupan hidup dan keamanan batinnya.
Seorang sālik sejati adalah ibn al-zamān: hamba yang fokus menjalankan tugas penghambaan hari ini, tanpa dikuasai kecemasan berlebihan terhadap masa depan.
Sebagaimana firman Allah:
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Thalaq: 2–3)
Jangan Terjebak pada Sebab
Suku Quraisy disebut secara khusus karena pengaruh sosial dan ekonominya yang besar di Jazirah Arab. Dahulu, mereka menggantungkan kelangsungan hidup pada perdagangan dan simbol-simbol berhala. Kini, pelajaran itu relevan: manusia modern sering kali menyandarkan hidup sepenuhnya pada usaha, jabatan, dan sistem, lalu lupa kepada Allah sebagai Penjamin hakiki.
Padahal tujuan penciptaan manusia telah ditegaskan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ٥٦
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Surat Al-Quraisy mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada sebab-sebab duniawi, melainkan melampauinya menuju penghambaan total. Aktivasi hati tidak selalu instan. Cepat atau lambatnya adalah hak Allah.
Tugas hamba adalah memperbaiki kualitas ibadah: memperkuat dzikir, menambah amal sunnah dan sosial, meluruskan niat, serta—bagi yang menempuh jalan ruhani—berada dalam bimbingan guru yang sanadnya tersambung hingga Rasulullah ﷺ.
Ujian sering datang justru ketika ibadah mulai konsisten. Itu bukan tanda ditinggalkan, melainkan isyarat bahwa koneksi dengan Allah sedang diperkuat.
Ketika hidup terasa sempit dan rasa aman terguncang, bacalah Surat Al-Quraisy dengan perenungan dan hati yang hadir. Di sana terdapat janji Allah tentang kecukupan rezeki dan perlindungan bagi hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menyembah-Nya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















