Jakarta, aktual.com – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai kondisi penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia patut dikhawatirkan karena tidak mendapatkan porsi perbaikan yang serius dari negara. Ia menyebut berbagai indeks yang selama ini dijadikan rujukan justru menunjukkan stagnasi bahkan penurunan, yang menurutnya menjadi sinyal kuat adanya masalah struktural.
“Indeks-indeks itu sangat valid untuk menilai, apakah penegakan hukum Indonesia perlu perbaikan secara serius, tapi kita melihat indeks-indeks itu stagnan bahkan menurun,” ujarnya, di Jakarta, Senin (29/12/2025).
Ia mencontohkan indeks demokrasi 2024 yang turun menjadi 6,44 dan menandakan demokrasi Indonesia bukan lagi sekadar bermasalah ringan, melainkan sudah “cacat”, bahkan di beberapa titik masuk ke arah neo-otoritarian. Kondisi itu, kata dia, juga dibarengi dengan merosotnya kebebasan pers secara tajam.
Isnur menambahkan, indeks negara hukum yang terus melemah sejalan dengan temuan YLBHI mengenai meningkatnya serangan terhadap aktivis melalui kriminalisasi yang kini menjadi metode dominan. Sepanjang satu tahun terakhir, YLBHI mendampingi 58 kasus pembela hak asasi manusia dengan pola utama kriminalisasi.
“Taktik utamanya di 58 kasus itu adalah kriminalisasi,” katanya.
Ia menjelaskan, kriminalisasi dilakukan melalui penggunaan pasal-pasal karet dalam KUHP dan Undang-Undang ITE, dengan sasaran utama pembela HAM yang menyuarakan pendapat di media sosial maupun dalam aksi demonstrasi. “Targetnya adalah pembela HAM, bukannya provokator tapi pembela HAM,” ucapnya.
Lebih jauh, Isnur mengungkapkan kekhawatiran akan potensi kekacauan hukum yang semakin meluas. Hal itu berkaca pada sejumlah peristiwa sebelumnya, di mana proses pemeriksaan dan penyitaan justru berujung pada praktik pemerasan.
Ia juga menyoroti persoalan sumber daya alam (SDA), khususnya para pembela HAM dan pengacara yang memperjuangkan isu lingkungan hidup. Menurutnya, mereka yang melawan deforestasi dan penambangan ilegal yang masif justru berada pada posisi benar, namun tetap dikriminalisasi.
Kondisi tersebut, kata Isnur, membuat perjuangan lingkungan menjadi semakin berat. “Sekarang bencana, bagi kita yang memperjuangkan alam jadi sedih dua kali,” ujarnya.
Isnur mengatakan, para aktivis sudah mengingatkan sejak lama berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Tetapi, peringatan keras mereka justru direspons dengan pemenjaraan para pegiat lingkungan. Setelah bencana terjadi dan berdampak pada ribuan orang, penanganannya pun dinilai tidak maksimal.
Isnur menegaskan, pelaku dari berbagai persoalan tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran aparat negara dan korporasi. Ia mempertanyakan mekanisme pertanggungjawaban ketika aparat menjadi pelaku, sementara proses peradilan juga dijalankan oleh aparat.
“Pelakunya siapa? Mereka adalah aparat negara dan korporasi,” katanya.
Dalam konteks pembaruan hukum, ia juga mengkritik kondisi KUHAP yang dinilainya bermasalah dan belum siap diterapkan. Menurutnya, banyak ketentuan yang belum dilaksanakan, sementara penyesuaian pidana disusun secara tergesa-gesa.
Ia menyoroti belum rampungnya peraturan pelaksana yang seharusnya disusun berdasarkan mandat KUHP dalam waktu tiga tahun. “Tiga hari lagi pemberlakuan, PP-nya belum ada juga,” ujarnya.
Ia juga menyinggung KUHAP baru yang disebut sudah memiliki nomor, yakni Nomor 20 Tahun 2025, namun undang-undangnya belum tersedia. Situasi ini, menurut Isnur, berpotensi menimbulkan kebingungan serius bagi aparat penegak hukum.
“Bayangkan polisi, jaksa, pengacara, hakim mau pakai KUHAP per 2 Januari belum ada undang-undangnya, belum ada dokumennya, gimana kita mau menggunakan itu,” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















