Jakarta, Aktual.com — Tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 2025 menunjukkan bahwa stabilitas koalisi besar tidak serta-merta meredam dinamika politik nasional. Meski pemerintahan relatif solid secara formal, manuver elite dan tarik-menarik kepentingan partai tetap mewarnai panggung politik sepanjang tahun.

Pengamat politik Arifki Chaniago menilai 2025 bukan tahun politik yang sepi. Konsolidasi pemerintahan, kata dia, berjalan beriringan dengan kontestasi wacana di dalam dan di sekitar koalisi pendukung pemerintah.

“Koalisi besar memang menciptakan stabilitas, tetapi tidak menghilangkan kompetisi politik. Justru kompetisinya berubah bentuk, dari frontal menjadi simbolik dan berbasis isu,” ujar Arifki kepada Aktual.com, Senin (29/12/2025).

Salah satu dinamika yang mencuat sepanjang 2025 adalah kembali menguatnya isu ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Menurut Arifki, isu tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari upaya delegitimasi politik yang berdampak luas.

“Delegitimasi Jokowi punya efek berlapis. Salah satunya membuka kembali ruang spekulasi tentang arah kekuasaan ke depan, termasuk soal konfigurasi politik menuju 2029,” katanya.

Ia menjelaskan, selama ini kesinambungan kekuasaan dianggap relatif mapan. Namun, munculnya kembali isu-isu lama dinilai sebagai sinyal bahwa peta politik belum sepenuhnya terkunci.

Dinamika koalisi juga tercermin dari pernyataan elite partai. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, misalnya, melontarkan gagasan “taubat nasuha” pascabencana banjir di Sumatera. Menurut Arifki, pernyataan tersebut tidak hanya bernuansa moral, tetapi juga memiliki pesan politik.

“Pernyataan itu sekaligus mengingatkan bahwa basis dukungan politik di daerah tertentu masih menjadi arena perebutan pengaruh,” ujarnya.

Sementara itu, wacana pembentukan koalisi permanen yang disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia dibaca sebagai upaya mengunci stabilitas jangka panjang. Namun, Arifki menilai gagasan tersebut justru menunjukkan masih adanya kecemasan politik di internal koalisi.

“Jika semua benar-benar nyaman, ide koalisi permanen tidak perlu terus diulang,” katanya.

Menurut Arifki, refleksi politik nasional 2025 menunjukkan bahwa pemerintahan baru tidak otomatis melahirkan politik baru. Di balik stabilitas formal, politik Indonesia tetap dinamis, penuh negosiasi, dan sarat manuver elite menuju 2029.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi