Siswa mengembalikan ompreng makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMP Negeri 13 Depok, Jawa Barat, Senin (6/10/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU
Siswa mengembalikan ompreng makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMP Negeri 13 Depok, Jawa Barat, Senin (6/10/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU

Jakarta, Aktual.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berjalan hampir satu tahun dengan berbagai tantangan, mulai dari temuan makanan basi hingga menu yang dinilai belum memenuhi standar gizi. Namun, ada satu persoalan mendasar yang menimbulkan tanda tanya besar di tengah publik.

“Kenapa kegiatan MBG masih berjalan ketika sekolah diliburkan? Apakah ada manfaatnya bagi siswa menerima program tersebut saat tidak ada kegiatan belajar mengajar?” ujar Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, Rabu (31/12/2025).

Menurut Huda, setidaknya ada tiga catatan penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah.

Pertama, dari sisi anggaran. Ketika MBG tetap berjalan di masa libur sekolah, penggunaan uang pajak berpotensi tidak efektif. Hingga Desember 2025, tercatat ada 17.555 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi. Dengan asumsi setiap SPPG menyediakan 3.000 porsi per hari, maka selama libur sekolah terdapat sekitar 526,65 juta porsi yang disalurkan.

“Dengan harga rata-rata Rp15.000 per porsi, total anggaran yang terserap mencapai sekitar Rp7,9 triliun. Apakah tidak lebih baik dana sebesar ini dialihkan sementara untuk membantu masyarakat di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara yang sedang menghadapi kesulitan?” ujarnya.

Ia menilai, jika pemerintah merasa berat menghentikan sementara MBG saat libur sekolah, patut dipertanyakan logika kebijakan tersebut. “Dengan potensi laba per dapur mencapai sekitar 13,33 persen atau Rp2.000 per porsi, bisa ada sekitar Rp1 triliun yang masuk ke kantong pengusaha SPPG. Publik tentu berhak bertanya, siapa sebenarnya pemilik SPPG ini,” tegasnya.

Kedua, praktik pembagian MBG secara “rapel” selama libur sekolah dinilai mendorong penggunaan makanan kemasan. Mulai dari biskuit, makanan ringan, susu kemasan, hingga roti menjadi menu utama.

“Produk-produk ini bukan milik pedagang kecil atau petani lokal, melainkan dikuasai korporasi besar. Uang Rp7,9 triliun itu lebih banyak mengalir ke konglomerat, bukan ke petani sayur atau pedagang pasar,” kata Huda.

Ketiga, tujuan utama MBG untuk membentuk pola makan sehat anak menjadi tidak relevan ketika menu berganti makanan kemasan. “Apakah nilai gizinya setara? Seharusnya masa libur sekolah dimanfaatkan orang tua untuk mengevaluasi pola makan anak, bukan malah memperbanyak konsumsi makanan kemasan,” ujarnya.

Ia pun menutup dengan kritik keras. “Pak Presiden, program ini memang prioritas, tetapi ada wilayah yang jauh lebih membutuhkan anggaran tersebut saat ini. Jadikan libur sekolah sebagai waktu evaluasi MBG, bukan momentum mempercepat balik modal pemilik SPPG,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi