Jakarta, Aktual.co — Di penghujung tahun 2014 tepatnya pada 31 Desember 2014, Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk menghapus subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan menurunkan harganya menjadi Rp7.600 per liter dari sebelumnya sebesar Rp8.500 per liter. Dengan begitu, banyak kalangan menyebut bahwa Pemerintah telah melepas harga Premium kepada pasar minyak dunia dan akan dibiarkan berfluktuatif seperti halnya harga Pertamax, hal itu dinilai melanggar konstitusi.

Bahkan, Indonesia Corruption Watch menuding meski Pemerintah menurunkan harga BBM jenis Premium dan solar namun sesungguhnya Pemerintah telah menjual harga dua jenis BBM tersebut di atas harga keekonomiannya. Berdasarkan data ICW, secara keseluruhan potensi pemahalan (Mark Up) harga Premium mencapai Rp1,440 triliun dan solar sebesar Rp909,9 miliar.

Menanggapi hal itu, Pengamat sekaligus Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung mengatakan bahwa hal itu merupakan hal yang wajar. Dikatakannya, berapapun harga BBM yang ditetapkan Pemerintah, tidak harus sesuai dengan hitungan berdasar harga pasar tanpa memberikan ruang untuk pertamina memperoleh margin atau keuntungan.

“Saya pikir wajar jika ada margin yang diberikan untuk pertamina. Sebagai pelaku usaha yah wajar pertamina mengambil margin,” kata Pri Agung di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu (7/1).

Menurutnya, hal yang salah adalah ketika Pemerintah tidak mengetahui patokan harga yang sebenarnya dan Pertamina dengan bebas menaik turunkan harga BBM dan elpiji mengikuti perkembangan harga pasar dunia.

“Salah jika Pemerintah menyerahkan sepenuhnya harga BBM dan elpiji kepada perkembangan pasar. Itu melanggar kontitusi,” ucapnya.

“Okelah jika harganya mengikuti harga minyak dunia, tapi itu tetap harus melalui kajian komprehensif Pemerintah,” imbuhnya.

Ia menerangkan, Pemerintah harus berperan langsung dan berandil dalam menentukan setiap perubahan harga BBM.

“Bukannya dilepas begitu saja ke pasar tanpa ada kontrol langsung dari Pemerintah,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka