Jakarta, Aktual.co — Kepemimpinan di negeri ini belum menemukan bentuk yang tepat. Jika berbagai negara lain telah percaya diri menggunakan konsep-konsep kepemimpinan lokal sebagai jati diri mereka, sebaliknya di Indonesia masih terjadi tarik ulur antara konsep lokal maupun konsep dari luar.
Walau hingga saat ini tarik ulur tadi cenderung dimenangkan oleh konsep dari luar, tapi itu bukan berarti ada sikap antipati terhadap luar negeri. Yang berlangsung justru kita wajib bersikap selektif terhadap pengaruh-pengaruh yang masuk. Pengaruh dari luar yang baik diterima, tetapi pengaruh yang buruk dibuang.
Konsep kepemimpinan sesuai nilai budaya Jawa selama ini lebih banyak dilihat dari sisi negatif. Seperti pada sisi konflik saat pergantian pimpinan atau peralihan kekuasaan, sisi budaya feodalis, sisi menyerang kedaulatan negara lain. dan sebagainya. Padahal aspek kepemimpinan Jawa bukan hanya itu, banyak nilai baik dalam berbagai sisi aspeknya. Nilai-nilai kepemimpinan Jawa yang baik biasanya tertulis dalam prasasti, gulungan lontar, serat-serat kuno. Bahkan, tidak jarang juga berupa cerita turun-temurun secara lisan.
Melirik konsep kepemimpinan jawa, bukan berarti kita kembali kepada masa lalu atau membangkitkan romantisme. Melainkan untuk memanfaatkan masa lalu sebagai cermin, guru, dan pelajaran dalam menatap masa depan negeri ini.
Konsep kepemimpinan Jawa memiliki makna filosofis tinggi. Kendati konsep-konsep itu belum bisa dinyatakan bersifat ilmiah, tetapi nilai yang terkandung tidak kalah dengan konsep kepemimpinan dari luar negeri. Terbukti dengan konsep itu, Nusantara mencapai era kejayaan semasa Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan sebaliknya dengan konsep luar negeri, Indonesia pun hingga saat ini belum kunjung mampu menyamai kejayaan leluhurnya.
Konsep-konsep ini yang sering juga disebut-sebut sebagai salah satu bentuk kearifan lokal. Salah satu konsep dalam kepemimpinan Jawa secara tersirat termaktub dalam macapat Kinanthi. Yaitu, nalika nira ing dalu, wong agung mangsah semedi, sirep kang bala wanara, sadaya wus sami guling, nadyan Ari Sudarsana, wus dangu nggenira guling. Atau jika dialih-bahasakan kurang lebih berarti, ketika dia di malam hari, Orang Besar berangkat bersemedi, tidur seluruh tentara kera, semua telah tertidur dengan pulas, termasuk adinya sendiri, sudah lama tertidur pulas.
Meski macapat tadi hanya terdiri dari enam baris ringkas, namun bila diuraikan akan memakan banyak waktu dan tempat. Macapat itu mengajarkan asas-asas kepemimpinan ideal bagi bangsa ini. Yaitu agar lebih mementingkan urusan bangsa daripada mengedepankan kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok.
Hal ini bisa ditilik di level paling rendah dalam pemerintahan negara yaitu kepemimpinan kepala desa. UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, menempatkan kepala desa bukan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, tetapi sebagai pemimpin masyarakat. Lagi pula sesuai tradisi i proses pemilihannya, kepala desa sejak lama lazim dipilih langsung oleh masyarakat desa setempat seperti kelaziman dalam pemilihan umum (pemilu).
Sehingga kebijakan dan program yang ditempuh kepala desa pun harus sesuai kebutuhan masyarakat. Bukan program-program top-down dari pemerintah supra desa yang selama ini dijejalkan ke desa.
Proses ini tentu berbeda dengan kelurahan yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah, karena proses pengangkatan lurah ditunjuk langsung oleh pemerintah supra desa.
Legitimasi merupakan dimensi terpenting dalam kepemimpinan kepala desa. Legitimasi itu mencakup keabsahan, kepercayaan dan hak berkuasa sehingga diakui masyarakat desanya.
Dalam kehidupan masyarakat, kepala desa itu bisa menjabat karena mendapatkan ‘pulung’ (cahaya dari langit) yang diterima malam sebelum pemilihan. Namun jika dianalisis lebih dalam, sebenarnya makna pulung itu bisa disebut sebagai legitimasi dari masyarakat. Apalagi selama ini sebagian masyarakat menganggap seseorang bisa menjadi pemimpin berkat adanya sesuatu yang bersifat mistis, atau garis keturunan, maupun modal besar.
Tetapi legitimasi itu bukan berasal dari langit atau garis keturunan. Begitupun ‘pulung’ karena hampir tak ada warga desa yang mampu melihat pulung pada malam sebelum pemilihan. Pulung itu ramai dibicarakan setelah pemilihan berakhir dan diketahui hasilnya, sehingga bisa dianggap lebih sebagai dongeng indah dalih pembenaran semata.
Selama ini pun, masyarakat desa telah terbiasa menilai legitimasi berdasarkan dimensi moralitas dan kinerja. Tanpa mengabaikan moralitas, yang ditekankan bahwa prosedur yang demokratis itulah yang merupakan sumber legitimasi (Cohen, 1997).
Sehingga calon kepala desa yang menyebarkan isu garis keturunan pun belum tentu menang dalam pemilihan. Sekarang masyarakat desa telah berpikir dewasa dalam demokrasi. Mereka lebih cenderung memilih calon yang memiliki moralitas baik dan kinerja yang baik. Alhasil belum tentu calon yang memiliki garis keturunan ‘ningrat’ itu memiliki moralitas yang baik maupun kinerja yang baik.
Sehingga, sifat, gerak-gerik, perbuatan setiap hari, kinerja selama menjabat maupun di tempat berkarier sebelumnya akan diperhatikan masyarakat dengan seksama. Masyarakat desa itu sensitif dan titen (mudah mengingat), mereka terlihat taat, patuh, mengikuti perintah pemimpin, namun ketika pemimpin itu berbuat salah maka otomatis masyarakat tidak percaya lagi kepadanya.
Kinanthi dari macapat tadi memiliki nilai korelasi tentang moralitas dan kinerja kepala desa. Dalam macapat ini digambarkan, pada malam hari, pemimpin tidak bisa tertidur pulas. Dia bangun dari tidurnya untuk bersemedi/beribadah kepada Tuhan. Ketika seluruh tentara/warganya tertidur pulas, hanya kepala desa sendiri yang terjaga dari tidurnya. Bahkan adiknya atau keluarganya pun telah terlelap.
Jika dijabarkan, ada nilai-nilai kepemimpinan baik yang bisa diambil dari macapat di atas. Karena itu baris demi baris dari macapat di atas, laik dikupas untuk menemukan saripati nilai positif kepemimpinan yang ada.
Nalika nira ing dalu, Wong Agung mangsah semedi atau jika diterjemahkan secara bebas menjadi ‘ketika dia di malam hari, pemimpin berangkat bersemedi’. Pemimpin yang baik adalah yang memiliki dasar spiritual kuat. Tentu tanpa menyampingkan kemampuan yang bersifat keduniawian seperti tata pemerintahan, manajemen, kepemimpinan dan sebagainya.
Dasar spiritual dari kepemimpinan yang kuat, niscaya tahu dan mampu memilah mana itu kebaikan dan mana kebatilan. Sehingga pemimpin mampu memproteksi segala godaan baik yang datang dari luar maupun kemauan-kemauan yang menyesatkan. Dengan catatan bahwa kemampuan spiritual yang dimaksudkan di sini jangan ditafsirkan sebatas mereka yang lulusan sekolah berbau keagamaan. Tetapi, mereka yang telah menjiwai nilai-nilai agama tersebut.
Contoh ini pernah dilakukan oleh Hasan al Basri, Ulama Besar Tabi’in dalam mengatasi kebobrokan zaman kepemimpinan Yazid di zaman Bani Umayyah. Cara ini terbukti berhasil, daripada mengangkat senjata seperti yang dilakukan beberapa orang zaman itu.
Jika kita membahas dari sisi perilaku, ada beberapa hal yang menarik untuk kita bahas dari baris itu. Dia pemimpin yang baik, karena rela bangun tengah malam dan bersemedi atau berdoa. Selain berdoa untuk dirinya dan keluarganya, tentu dia juga mendoakan segenap rakyat dan negerinya.
Inilah yang terasa jarang untuk negeri kita, mereka lebih suka tidur dengan pulas, di tempat mewah ditemani fasilitas yang memadai. Di sisi lain, bahwa mereka yang bangun tengah malam itu bukan hanya untuk bersemedi atau berdoa saja melainkan melakukan aktivitas lainnya.
Kita buka kembali sejarah zaman Umar bin Khattab RA yang berjalan mengelilingi negeri di tengah malam, hanya untuk mengetahui keadaan rakyatnya secara lagsung.
Ataupun kenangan seorang kepala desa, zaman dulu, yang rela kehujanan hanya berbekal memakai caping (topi anyaman besar), senter, dan kentongan. Dia sendiri berkeliling desa untuk mencek tanggul sungai dan memperingatkan warga agar hati-hati jika banjir datang. Namun sayang, kepala desa yang amanah itu menjadi korban politik tahun 1965.
Dewasa ini, model seperti ini diadopsi oleh seorang pemimpin yang mulai meniti karier politik dari Walikota sampai Presiden dengan cara blusukannya.
Sirep kang bala wanara, sadaya wus sami guling atau jika diterjemahkan secara bebas menjadi ‘tidur semua pasukan kera, semua telah tertidur dengan pulasnya’. Secara makna, baris itu masih berkaitan dengan baris diatas.
Sebelum lebih jauh membahas maknanya, perlu diketahui bahwa kinanthi di atas menceritakan tentang kehidupan Raja Rama pada zaman Ramayana. Raja Rama sendiri merupakan ‘titisan’ dari Dewa Wisnu yang diutus ke bumi untuk mengalahkan angkara murka. Dalam kisah ini digambarkan dengan melawan Rahwana dari Alengka, yang menjadi pemicunya karena Rahwana mencuri Sinta, istri Rama.
Pencurian itu bukan satu-satunya sebab, melainkan hanya sebagai pemicu saja dalam peperangan itu. Karena pada zaman itu, Rahwana menjadi simbol atas angkara murka. Selain Raja Rama sakti mandraguna, dia juga dibantu oleh para tentaranya yang mayoritas berupa kera.
‘Sirep kang bala wanara, sadaya wus sami guling’ menggambarkan bahwa kepala desa tersebut wajib turun ke bawah. Pemimpin tersebut rela malam hari menyusuri gang-gang sempit, lereng-lereng bukit ataupun tempat angker hanya untuk secara langsung mengetahui keadaan atau realita di lapangan dari rakyatnya. Daripada hanya sekedar menerima laporan-laporan manis ‘ABS’ (asal bapak senang) dari perangkatnya.
Kepala desa yang memilik cakupan wilayah relatif sempit, alangkah baiknya terjun sendiri dan sering mengunjungi masyarakatnya. Terlebih di saat masyarakat tersebut ‘tertidur lelap’ atau tidak menyangka atas kunjungan dari kepala desa. Sehingga kepala desa akan mengetahui kondisi secara langsung dan murni tanpa rekayasa atas keadaan masyarakat. Di sana pula, kepala desa akan mendapatkan banyak pengalaman, masukan, kritik, saran, dan ilmu setelah melihat masyarakat dan keadaan wilayahnya, sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakannya.
Nadyan Ari Sudarsana, wus dangu nggenira guling mencerminkan adanya pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan desa. Terjemah dari baris macapat di atas kurang lebihnya menuturkan tentang Sang Adik dari Rama, yaitu Laksmana.
Laksmana adalah kesatriya luhur yang mempunyai jiwa spritual dan kemampuan ketangkasan ilmu yang tinggi. Sayangnya, selama hidupnya dia tidak menikah, walaupun dia tersebut termasuk kesatriya yang tampan. Antara Rama dengan Laksmana merupakan dua sepasang saudara yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang logam, di situ ada Rama maka di situ pula ada Laksmana.
Dalam macapat itu, Rama melakukan ibadah sendirian tanpa ditemani Laksmana. Padahal antara Rama dengan Laksmana merupakan merupakan ‘dua sisi uang logam’ yang tak terpisahkan. Namun, Rama sadar bahwa tugas kenegaraan merupakan tanggungjawabnya pribadi, sehingga jangan sampai melibatkan keluarga.
Melibatkan keluarga di sini bisa dimaknai sebagai melibatkan keluarga dalam arti ikut menyusahkan, bahkan menyeret keluarga ke dalam lingkaran kekuasaan. Atau melibatkan bisa pula dimaknai dengan mencampur-adukkan antara kepentingan negara dengan kepentingan keluarga maupun kelompok.
Adanya cara-cara KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pilih kasih dalam hak dan kewajiban, tebang pilih dalam hukum dan sebagainya. Praktek-praktek kotor inilah yang selama ini sering menghantui negeri ini.
Ada cerita dari Tanah Arab, semasa Umar bin Abdul Azis, Khalifah dari Umayyah yang pernah mematikan pelita di ruang kerjanya ketika anaknya masuk ke dalam ruangan. Setelah anaknya ke luar, barulah Umar menyalakan kembali pelita itu. Saat anaknya bertanya mengapa pelita itu dipadamakan, Umar pun menjawab bahwa pelita dan minyaknya dibeli dari uang rakyat. Sehingga, Umar terpaksa mematikan pada waktu anaknya masuk. Karena Umar tahu yang akan dibicarakan anaknya itu masalah keluarga, bukan ihwal yang berkaitan dengan negara.
Terdapat dua nilai luhur dalam kinanthi di atas, yang memiliki korelasi dengan kepemimpinan kepala desa.
Pertama, kepala desa itu harus memiliki jiwa spiritual yang tinggi dan kemampuan keilmuwan yang bersifat keduniawian. Bangun tengah malam, mendoakan untuk kesejahteraan dan keadilan rakyatnya sampai rela terjun ke lapangan untuk mengetahui kondisi rakyat yang sebenarnya.
Kedua, kepala desa harus pandai memilahkan antara kepentingan keluarga dengan kepentingan desa. Jika kedua kepentingan terjadi campur-aduk, maka KKN yang akan terjadi. Padahal kepentingan desa melebihi atas kepentingan lainnya. Ibaratnya, kepala desa itu rela menjadi orang yang makan terakhir sebelum seluruh warganya makan dengan kenyang, bukan sebaliknya.
Minardi(Pemerhati Desa, alumni Ilmu Pemerintahan, STPMD “APMD” Yogyakarta)
Artikel ini ditulis oleh: