Jakarta, Aktual.co — Pada awal Oktober 2014, perwakilan Arab Saudi di Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC), Nasser al-Dossary, mengejutkan hadirin di New York dengan menyatakan pemerintahnya akan membiarkan harga energi global jatuh.
Pesan al-Dossary bertolak belakang dengan kebiasaan Arab Saudi dalam puluhan tahun terakhir yang membatasi produksi minyak global agar harganya tetap tinggi. Harga minyak pun anjlok akhir bulan lalu, setelah Arab Saudi merayu anggota OPEC lainnya untuk mempertahankan level produksi minyak.
Menurut pejabat senior Timur Tengah, Amerika, dan Eropa bahwa strategi minyak baru Arab Saudi ini tampaknya bukan hasil aliansi lama. Ini adalah persaingan baru, karena Arab Saudi merasa terancam oleh perusahaan energi AS.
Produksi minyak serpih alias shale di beberapa negara bagian AS, seperti Texas dan North Dakota, telah meningkatkan produksi minyak Paman Sam. Ekspor ke AS dari negara-negara OPEC pun berkurang sehingga pasokan minyak global berlebih.
Pesan yang disampaikan al-Dossary merupakan tantangan langsung kepada perusahaan energi Amerika Utara. Kerajaan Arab meyakini perusahaan AS telah memicu berlebihnya pasokan minyak dengan memakai teknologi baru minyak shale.
Pejabat Arab meyakini mereka tidak dapat mengangkat harga minyak sendirian, di tengah banjir minyak baru. Mereka juga menyimpulkan banyak negara OPEC enggan mengurangi produksi, sama seperti produsen non-OPEC seperti Rusia dan Meksiko. Jika hanya Riyadh yang mengurangi produksi, pemerintah Saudi khawatir negara lain akan mencuri pasar mereka.
“Opsi yang tersisa yaitu biarkan harga minyak turun, untuk melihat seberapa lama dan seberapa banyak produsen minyak shale AS bisa terus memproduksi,” ujar pejabat Arab tersebut seperti dilansir Wall Stret Journal, Minggu (4/1), 
Keputusan OPEC untuk mempertahankan level produksi minyak, yang diumumkan pada 27 November 2014, menjatuhkan harga minyak mentah menjadi di bawah USD60 per barel. Beberapa bulan sebelumnya, harga minyak mentah sempat melebihi USD100 per barel. Perpecahan pun terjadi antara negara anggota OPEC—dan raksasa energi lainnya—yang selama ini menikmati harga minyak tiga digit.
Langkah Arab Saudi adalah bagian dari evolusi hubungan Riyadh dengan Washington dalam sepuluh tahun terakhir. Dua negara yang menjadi sekutu dekat sejak Perang Dunia II ini berhasil mencapai kemakmuran, berkat pasokan minyak stabil dari Arab Saudi yang ditukar dengan jaminan keamanan AS di kawasan sekitarnya.
Namun kemunculan AS sebagai rival energi menguji persekutuan tersebut dari beberapa sisi. Apa lagi, kedua negara berbeda pandangan soal kebijakan AS di Timur Tengah.
Arab Saudi mengambil risiko dengan membiarkan harga minyak jatuh, kata pejabat Arab, AS, dan Eropa tersebut. Riyadh telah mengatakan ekonomi mereka dapat bertahan sedikitnya dua tahun meski harga minyak turun, berkat cadangan devisanya yang mencapai USD750 miliar. Arab Saudi meyakini produsen yang kurang efisien akan keluar dari pasar.
Meski demikian, beberapa petinggi industri minyak mengatakan Riyadh dan Naimi meremehkan pengaruh teknologi dan lonjakan minyak shale dalam mengubah wajah pasar energi dunia. 
“Banyak perusahaan AS yang masih bisa untung atau break even dengan harga minyak di bawah USD40,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid