Fase Pengesahan
Betapa pun terjadi konsensus secara luas dan rancangan UUD telah disepakati oleh seluruh anggota BPUPK, kecuali Muhammad Yamin, pada 16 Juli 1945, di bawah permukaan tetap ada sesuatu yang mengganjal. Anggota-anggota BPUPK dari golongan kebangsaan menganggap pencantuman ”tujuh kata” dalam Piagam Jakarta—yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam—tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan.
Suasana batin seperti itulah yang mewarnai sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang didirikan pada 12 Agustus 1945 dan bertugas mempercepat upaya persiapan terakhir bagi pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia merdeka, termasuk menetapkan konstitusi. Jika kriteria utama keanggotaan BPUPK didasarkan pada latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, kriteria utama keang¬gotaan PPKI lebih berdasarkan kedaerahan. Konsekuensinya, beberapa tokoh kunci BPUPK, seperti Agoes Salim, Abdul Kahar Moezakir, Masjkur, Ahmad Sanoesi, Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Wongsonagoro, dan Muhammad Yamin tidak masuk sebagai anggota PPKI, yang bisa menimbulkan perubahan terhadap konsensus yang dihasilkan BPUPK.
Pada awalnya, PPKI terdiri atas 21 orang anggota yang diketuai Soekarno dengan Mohammad Hatta dan Radjiman Wediodiningrat sebagai wakil ketua. Pertemuan pertama PPKI dilaksanakan pada 18 Agustus 1945. Pada saat itu, suasana batin dan situasi politik Indonesia telah berubah secara dramatis, menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dilakukan beberapa penyesuaian dalam komposisi PPKI. Atas saran Soekarno, enam orang anggota ditambahkan, termasuk Kasman Singodimedjo (Ko¬mandan Peta di Jakarta). Alhasil, selain Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Wachid Hasjim, ada dua nama lain yang bisa dianggap mewakili suara Islam di PPKI, yakni Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan.
Pada 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Re¬publik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah “Piagam Jakarta” sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) di belakang sila Ketuhanan. “Tujuh kata” itu dicoret lantas diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”, sehingga selengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebagai ikutan dari pencoretan “tujuh kata”, dalam batang tubuh UUD 1945 disetujui pula Pasal 6 ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli”, tak ada tambahan kata-kata “yang beragama Islam”. Demikian pula Pasal 29 ayat 1 bunyinya menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tanpa disertai “tujuh kata” di belakangnya. Tentang pencoretan ‘tujuh kata” tersebut, Mohammad Hatta punya andil besar, seperti diakui sendiri dalam otobiografinya. Pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan Piagam Jakarta dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Alasannya, demi menjaga persatuan bangsa.
Atas usul perubahan itu, Teuku Hasan menyambut secara positif, adapun Wachid Hasjim tidak hadir, sedangkan Kasman baru menerima undangan pagi itu sehingga belum siap berurusan dengan hal itu, menyisakan Ki Bagus untuk mengambil sikap. Upaya “membujuk” Ki Bagus dilakukan oleh Teuku Hasan dan Kasman. Dengan berbagai argumen persuasi yang dikemukakan, akhirnya Ki Bagus bersedia menerima usul perubahan itu. Dengan demikian, kubu Islam akhirnya menerima pencoretan “tujuh kata” itu. Meskipun menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de jure pencoretan “tujuh kata” itu mencerminkan realitas politik yang ada dan memiliki keabsahan. Kekuatan representasi politik Islam di PPKI yang berwenang menetapkan UUD memang tak seberapa.
Dengan pencoretan “tujuh kata” itu, moral “gotong-royong” sebagai dasar dari Pancasila serta moral “kekeluargaan” sebagai dasar sistematik UUD memperoleh kepenuhannya. Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945, setelah disahkan pada 18 Agustus, tidak ada lagi pokok pikiran kelima, yang memberikan keistimewaan kepada penduduk yang beragama Islam, seperti sebelumnya dinyatakan oleh Panitia Kecil Perancang Hukum Dasar. Dengan pencoretan pokok pikiran kelima, moral ketuhanan tetap dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara—seperti tercermin pada pokok pikiran keempat, namun diletakkan dalam konteks negara “kekeluargaan” yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi-permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bersambung…
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual
Artikel ini ditulis oleh: