Jakarta, Aktual.co — Perseteruan hak atas lahan suku anak dalam (SAD) yang ‘dicaplok’ oleh salah satu anak perusahaan sawit Malaysia yakni PT Asiatic Persada (Wilmar Group) kian memanas.
Pasalnya, perseteruan diatas hak atas lahan sebesar 3.550 hektar itu dirasakan tidak adil. SAD menduga adanya keberpihakan pemerintah daerah Batanghari yang tidak mau menjalankan kesepakatan bersama 1 Agustus 2012 lalu, terkait penyelesian konflik tersebut.
“Semua dari awal lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu sudah sama-sama melakukan mediasi menyelesaikan konflik suku anak dalam, namun tidak kunjung selesai. Kendala yang terjadi itu karena ada permainan (kongkalikong) antara pemerintah batanghari bersama PT Asiatic,” kata Ketua Organisasi suku anak dalam 113, Dusun Tanah Menang, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Abas Subuh, di Jakarta, Kamis (25/12).
Ia pun menjelaskan, jika permintaan SAD dalam polemik ini tidaklah rumit, mereka hanya ingin pemerintah daerah Batanghari mengeluarkan hak lahan adat milik suku anak dalam, dari sertifikat lahan 20.000 hektar di hak guna usaha (HGU) PT Asiatic Persada (PT AP).
“Kalau suku anak dalam tidak banyak permintaan kami yag penting include lahan 3.350 dari Dusun Padang Salak, Pinang Tinggi, Tanah Menang. Karena, disitu tercantum di peta micro lapangan yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan Tahun 86/87, bahwa ada seluas 2100 belukar, 1400 perladangan, dan 50 hektar pemukiman, itu kan cukup jelas,” tutur dia.
“Kalau pemerintah itu benar-benar ingin menyelesaikan konflik untuk melihat apakah benar itu hak suku anak dalam?, apakah betul itu HGU PT Asiatic? ,Itu saja pertanyaanya. Kalau betul itu hak PT Asiatic, betul tidak ada hak anak suku dalam sebelum perusahaan itu berdiri saat mendirikan HGU,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang
Nebby