Jakarta, Aktual.co — Wilayah Jakarta merupakan dataran pantai yang sangat rendah, bahkan sekitar 40 persen dari wilayah Jakarta lebih rendah dari pada muka laut yang sebagian besar berbentuk rawa pantai. Dataran ini terjadi sebagai hasil proses geomorfologi dari endapan sungai yang berlangsung ribuan tahun. Sungai-sungai yang mengalirkan curah hujan turun melalui lereng-lereng gunung, mengikis tanah dari lereng gunung, sehingga aliran sungai berperan besar dalam pembentukan lahan di Jakarta. Hal ini juga terjadi di kota-kota pantai seperti Semarang dan Surabaya.
Proses percepatan pembentukan lahan juga dipengaruhi oleh iklim yang meliputi perbandingan antara arah angin, kekuatan angin, lamanya angin bertiup, dan kekuatan arus sungai. Kekuatan iklim memengaruhi proses abrasi dan akresi di pantai. Proses sedimentasi lahan berlangsung dalam waktu ribuan tahun sehingga terbentuklah dataran lebar yang disebut dataran endapan dengan ketinggian kurang dari 7 meter dari permukaan laut. Di Jakarta, ketinggian tanah semakin ke selatan semakin tinggi. Hal itu ditandai oleh adanya tanggul-tanggul sungai yang membujur arah barat timur yang dapat ditelusuri dari toponim seperti Tanah Abang Bukit dan Bukit Duri.
Besar kecilnya banjir ditentukan oleh curah hujan, waktu hujan, dan sebaran. Untuk itu, ketika tanah sudah mulai jenuh dengan air hujan, kemungkinan menjadi aliran permukaan yang berakibat banjir semakin besar. Hal itu sangat berkaitan dengan iklim. Hujan yang jatuh pada bulan Desember sampai Februari lebih besar kemungkinannya menjadi banjir karena tanah sudah jenuh dengan air hujan. Banjir akan menjadi masalah ketika dampak buruknya dirasakan oleh penduduk yang menempati suatu kawasan.
Pemanfaatan ruang kota dengan melakukan pembangunan fisik yang diikuti peningkatan jumlah penduduk dapat memengaruhi periode ulanh dan perluasan wilayah yang dilanda banjir. Jakarta, pada tahun 1883, berpenduduk 110.669 jiwa dengan luas kota 8 km persegi. Pada tahun 1930, luas kota Jakarta menjadi 182 km persegi dengan jumlah penduduk 409.475 jiwa.
Tahun 1970, wilayah Jakarta mengalami perluasan karena terjadi penggabungan dengan daerah di sekitarnya sehingga luasnya menjadi 590 km persegi dengan penduduk 4.473.133 jiwa. 1985, luasnya menjadi 675 km persegi dengan jumlah penduduk 6.164.848 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang cepat mengakibatkan peningkatan pembangunan kawasan pemukiman, perdagangan dan industri yang semakin cepat pula.
Tanah-tanah yang secara topografis tergolong tidak cocok untuk kawasan terbangun, dan ditetapkan sebagai kawasan tanah basah yang digunakan untuk penampungan air sementara pada waktu banjir, sejak tahun 1960-an dibangun untuk berbagai keperluan kota. Seperti Marunda, Cilincing, Ancol, Pluit, Cengkareng dan Tanjung Priuk bahkan dijadikan permukiman, perindustrian dan jasa perdagangan.
Daerah aliran sungai yang merupakan daerah parkir air pada waktu banjir, setelah pembangunan Gelora Senayan tahun 1960-an, mulai ditempati seperti kawasan Tebet yang merupakan daerah luapan banjir Sungai Ciliwung, kawasan Mampang yang merupakan daerah luapan banjir Sungai Krukut dan Pluis (Kebayoran Lama) yang merupakan daerah luapan banjir Sungai Grogol. Pada masa kolonial, daerah luapan banjir ditetapkan sebagai daerah parkir air dan dinyatakan sebagai daerah pertanian dan kawasan hijau, sehingga pemanfaatan tanah untuk kawasan terbangun hanya diperbolehkan lima persen dari luas tanah yang ada.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid