Jakarta, Aktual.co — Kementerian Agama melalui Dirjen Bimas Islam mengimbau kepada umat Muslim untuk menghindari nikah sirri karena selain menyulitkan bagi kedua pasangan dalam berumah tangga, ke depan juga dapat menimbulkan permasalahan lanjutan.
“Enak dan mudahnya di depan, tetapi belakangnya menimbulkan permasalahan,” kata Dirjen Bimas Islam Machasin kepada pers di Jakarta, Rabu (24/12), menanggapi adanya kecenderungan banyak pihak mengambil jalan pintas untuk menikah.
Padahal, lanjut dia, Kementerian Agama kini membebaskan seluruh biaya nikah jika dilakukan di kantor urusan agama (KUA). “Tidak dipungut biaya jika nikah di balai nikah yang tersedia di KUA,” katanya.
Melaksanakan nikah memang harus melengkapi dokumen, seperti ada surat pengantar dari ketua rukun tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) hingga sampai kelurahan/kecamatan. Namun hal itu jangan dijadikan sebagai hambatan, karena memang demikian prosedurnya.
Nikah di KUA gratis dan jika diselenggarakan di hari libur atau di kediaman/tempat lainnya dikenai biaya Rp600 ribu, lalu ia mengingatkan bahwa kemudahan pelayanan untuk menikah semakin baik.
Pembayaran Rp600 ribu harus melalui bank. “Bukan kepada KUA atau penghulu,” kata Machasin yang didampingi Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Muhtar Ali dan Kepala Bidang Kepenghuluan Bimas Islam, Anwar.
Nikah Sirri, katanya, secara syariat memang dapat dibenarkan. Tetapi, yakinlah bahwa cara nikah demikian bakal membawa kesulitan ke depan.
“Selain wanita yang menjadi korban, maka anak yang lahir dari hasil perkawinan tersebut juga akan menemui kesulitan lantaran tidak dicatatkan dalam kependudukan,” katanya.
Terkait adanya pelayanan nikah bagi warga Indonesia di luar negeri, khususnya yang berstatus sebagai tenaga kerja, Dirjen Bimas Islam itu mengakui, sudah ada keinginan menempatkan atase agama di tiap kantor Konsulat Jenderal (Konjen) RI.
Namun, kesulitannya masih ada, yaitu ongkos menempatkan atase agama lebih besar biayanya daripada pekerjaannya. Pekerjaan atase agama yang hanya mengurusi nikah saja akan memakan biaya besar.
Kendati demikian, agar pelayanan publik dalam hal nikah tetap terlayani, pihak Kemenag sudah bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk menempatkan petugas pencatat nikah di tiap Konjen.
Penempatan itu tak hanya untuk melayani umat Muslim saja, tetapi juga bagi agama lainnya. Tetapi, lanjut dia, kesulitan masih terus dijumpai terkait masih banyaknya WNI di luar negeri yang tak memiliki dokumen kemudian nikah dengan warga lainnya.
Misalnya, ada TKI kawin dengan tenaga kerja warga negara asing lainnya di Saudi. Bisa jadi TKI kawin dengan warga India di Jeddah, misalnya.
“Untuk mengurusi hal seperti itu, sangat sulit. Keduanya tak punya dokumen sebagai tenaga kerja asing. Keduanya merupakan pendatang ilegal di Saudi,” katanya.
Pungutan liar Mahasin juga mengakui pungutan liar masih ada dalam proses pengurusan pernikahan. Meski oknum pelakunya bukan berasal dari KUA, tetapi dampaknya yang dirasakan adalah jajaran Kemenag.
Ia menyebut contoh. Di berbagai daerah, dalam hal pembayaran nikah, prosedurnya jika menikah di luar KUA dikenai tarif Rp600 ribu. Itu tarif resmi yang harus dibayar melalui bank yang telah ditunjuk.
Tetapi dalam praktek, ada pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan keluarga pasangan pengantin itu bahwa pengurusan pembayaran diwakilkan kepada petugas kelurahan atau pihak lainnya.
Oknum itu minta pembayaran di atas tarif resmi. Bisa di atas Rp800 ribu atau lebih, padahal pembayaran ke bank dapat dilakukan secara langsung dan tanda bukti kemudian diperlihatkan kepada KUA terdekat.
“Kita prihatin dengan kasus ini,” kata Dirjen Bimas Islam itu.
Untuk menghindari ini, pihaknya dalam waktu dekat juga akan membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Kementerian Dalam Negeri terkait layanan nikah.
“Kita berharap, prosedur di kelurahan dalam hal izin menikah dipermudah pula,” harapnya.
Mahasin menjelaskan KUA adalah garda terdepan bagi jajaran Kemenag dalam pelayanan kepada masyarakat. Namun di sisi lain eksistensinya tak sebanding dengan beban kerja yang dipikul. KUA mendapat tugas selain melayani nikah, juga menjadi pembimbing manasik haji, ikut aktif mengurusi zakat, wakaf.
Fungsinya sangat besar di tengah masyarakat, namun kurang didukung dengan infrastruktur yang memadai, seperti ketersediaan kantor yang belum menggembirakan. Terlebih di sejumlah kota kecil.
Meski demikian, lanjut dia, dari 479 KUA di 34 provinsi sebanyak 384 KUA sudah menerima dana profesi, transportasi dan honor lainnya. Tak disebutkan berapa besar dana yang digelontorkan untuk KUA diberlakukannya PP Nomor 48 dan PMA Nomor 46 Tahun 2014 tentang tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBM) dan Nikah dan Rujuk.
Sebelumnya, sejak Juni 2014, para KUA tak menerima honor profesi dari calon pengantin guna menghindari gratifikasi. “Dengan keluarnya PP Nomor 48 Tahun 2014 itu, kini tunjangan para penghulu ke depan sudah semakin jelas,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid