Jakarta, Aktual.co — Petani tebu di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur merasa terpukul oleh anjloknya harga lelang gula hingga di bawah Rp8.000 per kilogramnya. Dosen IPB yang menekuni tanaman tebu, Purwono, menjelaskan bahwa musim hujan beberapa bulan terakhir menyebabkan rendemen tebu di Indonesia cenderung rendah. Akibatnya, harga pokok penjualan (HPP) petani relatif rendah.

“Jadi kalau menentukan HPP itu kan dilihat juga dari rendemennya. Rendemen tebu ini prosesnya cukup panjang, bisa beberapa kali giling, dari tebu, lalu nira, setelah itu diproses kembali hingga jadi gula. Kalau tebunya sudah banyak kadar airnya ya gula yang di dapat tentu lebih rendah,” ujar Purwono saat dihubungi wartawan Aktual, Rabu (24/12).

Lebih lanjut Purwono yang juga mantan konsultan dewan gula nasional mengatakan bahwa dalam menentukan rendemen tebu terdapat tiga titik, yakni penimbangan tebu, analisa sampel di laboratorium, dan penimbangan gula. Menurutnya, dalam proses tersebut masing-masing pabrik gula (PG) memiliki pendapat yang berbeda.

“Jadi ini bisa tergantung si PG-nya. Petani kalau mau memasok tebu manis-bersih-segar (mbs) ke PG supaya pengukuran rendemen itu benar dan transparan. Tapi masalahnya kan petani kita belum tahu prosedurnya, bagaimana cara ambil sampel tebu, dan perhitungannya,” kata dia.

Selain itu, ditetapkannya HPP gula nasional sebesar Rp8.250 per kilogram dan rendemen tebu nasional 8.07 persen, kata dia, dirasa cukup memberatkan petani. Pasalnya, untuk mendapatkan rendemen tebu yang tinggi diperlukan tanaman tebu yang memiliki mutu tanaman yang juga tinggi.

“Tapi kan pemerintah sepertinya selama ini tidak ada dukungan buat petani tebu. Terapkan rendemen tinggi, tapi bibit tebunya jelek. Gimana bisa tinggi rendemennya,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10 persen, artinya dari 100 kg  tebu yang digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka