Jakarta, Aktual.co — Setelah banjir tahun 1970-an, Kopro Banjir diubah namanya menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya (PBJR) yang berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan. Perubahan ini didasarkan pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Nomor 154/KPTS/1972 tanggal 25 Mei 1972.
Berdasarkan keputusan tersebut, diangkat satu satuan tugas khusus oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dengan tugas membantu Pemda DKI untuk mencari solusi masalah tata air dalam rangka Rencana Pembangunan Wilayah Jakarta untuk masa waktu 1985-2000. Satuan tugas ini diberi nama Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya dengan tanggung jawab meliputi wilayah DKI Jaya.
Dengan adanya PBJR, Kopro Banjir dilebur ke dalam PBJR. Wilayah kerja PBJR sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengairan Nomor 105/KPTS/1985 tanggal 3 April 1985 diperluas meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Tujuan proyek adalah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dan sejalan dengan usaha pengendalian banjir dan perlindungan sumber daya air untuk kegiatan ekonomi, permukiman, dan produksi di wilayah kerja proyek.
Tugas pokok PBJR adalah menyusun pola induk pengendalian dan perlindungan sumber daya air untuk pengamanan, perlindungan dan pengembangan daerah-daerah pusat kegiatan ekonomi dan pemukiman, melaksanakan kegiatan survei, investigasi, studi kelayakan, dan desain dalam rangka pembangunan bangunan-bangunan pengairan berdasarkan pola induk yang sudah disusun dan menyusun pola eksploitasi jaringan dan sistem sungai pada wilayah kerja proyek. Adapaun willayah kerjanya meliputi 185.000 hektar yang merupakan 16 wilayah aliran sungai, yaitu Sungai Cidurian, Cimanceuri, Cicarag, Cisadane, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Cakung, Bekasi dan Cikarang.
PBJR juga mengadakan penataan terhadap danau dan hutan lindung yang ada di PBJR juga melakukan penataan terhadap danau-danau dan keberadaan hutan lindung yang ada di Jakarta. Danau Sunter misalnya, yang luasnya 42 hektar pada masa kolonial Belanda difungsikan sebagai tempat penampungan air limpahan di sekitarnya. Kondisi daerah ini berubah setelah dilakukan pembangunan perumahan dan kompleks Podomoro. Bertambahnya komplek perumahan telah mengubah daerah tangkapan air hujan. Selain itu, drainase limbah rumah tangga masuk ke danau sehingga mempercepat pendangkalan danau. Setelah itu, fungsi Danau Sunter ditingkatkan menjadi hutan kota, ekosistem perairan, pengendali banjir dan pengendali intrusi air laut.
Danau Sunter merupakan daerah aliran Sungai Kali Baru dengan kedalaman 1,2 meter sampai 7,4 meter atau rata-rata 4,3 meter dengan kedalaman lumpur setengah meter. Di danau ini terdapat pintu air pengendali banjir. Kawasan danau PT JIEP Pulo Gadung awalnya merupakan danau alami. Danau itu masuk ke dalam daerah aliran Sungai Sunter. Danau ini mampu menampung 235 juta meter kubik air. Daerah ini sekarang dikuasai oleh PT JIEP.
Wilayah Rawa Teratai digunakan sebagai hutan kota dan daerah resapan air. Situ Rawa Dongkal terdapat di Cibubur dengan luas 17,9 hektar dan daya tampung air 643 juta meter kubik.
Kondisi rawa-rawa di Jakarta yang semakin berkurang juga dirasakan Ali Sadikin. Sewaktu menjadi gubernur, ia mengatakan kalau dulu masih banyak rawa dan sawah yang dihuni kodok akan bergembira jika terjadi hujan. Namun sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Sawah dan rawa itu sudah berubah menjadi daerah pemukiman yang dibangun tanpa memperhitungkan sistem drainase yang baik.
Pada 23 Maret 1992, PBJR diubah namanya menjadi Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PWSCC) yang berkantor di Jalan Tarum Barat Jakarta Timur.
(Bersambung…)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid

















