Jakarta, Aktual.co — Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe)  Binsar Effendi, apabila penghentian impor Ron 88 dilakukan saat ini, Pertamina mengakui belum siap dan diharapkan rekomendasi Tim RTKM berlaku secara bertahap. 
Sebab produksi kilang Pertamina untuk Ron 92 hanya 200 ribu barel per bulan dan Nafta lebih dari 3,5 juta barel per bulan. Nafta ini harganya murah sehingga harus di blending dengan Ron 92 atau lebih agar bisa menjadi Premium. 
Oleh karena itu, Pertamina masih mengimpor Ron 92 atau lebih untuk mengolah Nafta menjadi Premium.  “Ini fakta dan realitasnya yang ada selama ini”, cetusnya dalam siaran pers yang diterima Aktual.co, Selasa (23/12). Jika dikatakan bahwa kilang Pertamina bisa memproduksi BBM kadar Ron 92 dengan menambahkan Methyl Tertiary Butyl Ether (MTBE) yang harganya 70 persen dari harga HOMC pada Pertamax Off karena MTBE berguna untuk mengurangi kadar aromatic yang dihasilkan oleh kilang Pertamina saat ini, dan konon disebut Pertamina sedang menghitung berapa ongkosnya, 
“Ini juga masih perlu diuji coba, apakah benar demikian pada prakteknya dan Pertamina harus menyiapkannya melalui proses di TPPI (Trans Pacific Petrochemical Indotama) serta menyiapkan infrastruktur lainnya”, imbuh Binsar Effendi yang Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM). Menurut Binsar Effendi lagi, jika TPPI sudah beroperasi penuh maka Pertamina bisa memproduksi lebih dari 5 juta barel per bulan untuk Ron 92. Tapi ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan, sehingga masih perlu impor Ron 92. 
Kebutuhan baru bisa diatasi jika RDMP (Refining Development Master Plan) dan kilang grass root refinery bisa beroperasi yang tentunya butuh waktu 4-6 tahun. 
Seharusnya juga dipikirkan kesiapan masyarakat pengguna sepeda motor dan angkutan umum seperti angkot dan mikrolet untuk tidak lagi menggunakan Premium dan langsung bisa membeli Pertamax. Terlebih bila tidak diberikan subsidi untuk Pertamax karena BBM yang bersubsidi itu hanyalah untuk bensin Premium, maka akan terjadi persaingan bebas antara Pertamina dan SPBU lainnya. 
“Disinilah Pertamina yang merupakan National Oil Company (NOC) kebanggaan bangsa, hanya meminta adanya persaingan yang adil. Keadilan dimaksud adalah terkait kewajiban Pertamina menanggung stok nasional,” papar Binsar. 
Pasalnya di negara lain ada entry barrier bagi pemain baru untuk bangun infrastruktur, dan turut menanggung stok nasional. Termasuk banyak kilang-kilang kecil yang masih produksi Ron 88, juga harus dipikirkan supaya mereka juga tidak tutup. 
“Itu juga terkait masalah tenaga kerja dan modal yang sudah ditanamkan kalau tiba-tiba Ron 88 dihilangkan”, demikian Binsar Effendi.
Seperti diketahui, Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) terkait dengan kebijakan subsidi dan perhitungan harga patokan BBM yang disiarkan di Kementerian ESDM pada 21 Desember 2014, antara lain menghentikan impor Ron (Research Octane Number) 88 dan Gasoil 0,35 persen sulfur dan menggantikannya masing-masing dengan impor Migas 92 dan Gasoil 0,25 persen sulfur dan mengalihkan produksi kilang domestik dari bensin Ron 88 (Premium) menjadi bensin Ron 92 (Pertamax).

Artikel ini ditulis oleh: