Jakarta, Aktual.co —  Masalah pembebasan tanah menjadi pekerjaan yang sulit dipecahkan oleh Kopro Banjir sehingga target tahun 1966 tidak terpenuhi. Pembebasan Pluit misalnya, hanya berhasil 80 persen atau sekitar 40 hektar, pembebasan sepanjang Cideng dan Krukut 5 hektar, Waduk Melati 3 hektar, dan Setiabudi 10 hektar atau 65 persen saja.
Untuk tahap awal, Kopro Banjir berhasil membuat Waduk Pluit, Jelambar, Setiabudi, Pesanggrahan, Sunter, Melati, dan beberapa pembuangan air di Tebet yang selalu kebanjiran dan pembuangan saluran Sentiong.
Untuk jangka panjang, Kopro Banjir berhasil melakukan penyurveian dan perencanaan tata air yang meliputi bagian A yaitu perencanaan drainase daerah barat meliputi Jelambar, Grogol, Tomang, Slipi, Gelora Bung Karno, Kebayoran Baru, dan Kebayoran Lama. Perencaan dilakukan oleh PN Indah Karya Bandung. Adapun perencanaan daerah sebelah timur meliputi perencanaan Cempaka Putih, Sunter Barat, Rawamangun, Sunter Timur, dan Pulo Mas. Untuk daerah ini baru disusun prinsip perbaikan muka air tanah.
Sementara itu, survei dan perencanaan bagian B adalah perencanaan master drainase seluruh Jakarta. Tim survei dan perencanaan berhasil menyusun suatu Pola Induk Tata Pengairan Jakarta Raya yang dibuat dalam sebuah buku yang terdiri dari 9 jilid. Buku itu memuat sistem pengendalian dan pemanfaatan banjir di Jakarta untuk masa 20 tahun yang akan datang.
Sampai tahun 1966, Kopro Banjir hanya mampu menyelesaikan 20 persen dari rencana seluruhnya untuk mengatasi banjir karena kesulitan dana. Selain itu, dana pemeliharaan Pemda DKI sangat terbatas.
Hal itu jelas menghambat proyek karena Kopro Banjir harus menanggung biaya pemeliharaan 30-40 persen dari dana proyek. Untuk pemeliharaan Sungai Cideng dan Sungai Krukut sebagai saluran drainase utama untuk melindungi Monas, Menteng, dan Kebon Kacang, harus dikeruk tiap tahun. Alasannya, penduduk di sepanjang sungau itu menumpuk sampah di pinggir sungai sehingga akan longsor ke sungai. Selain itu, masyarakat pun menggunakan saluran itu sebagai jamban. Lainnya, pembangunan rumah yang menjorok ke profil basah sangat menghambat aliran air secara gravitasi karena kemiringan sungai yang sangat kecil.
Untuk pengerukan diperlukan alat berat floating crane dan truk pengangkut sampah. Lahan yang sempit mengakibatkan pekerjaan tidak bisa dilakukan secara tuntas. Kalaupun daspat dilakukan, biasanya pemerintah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk bongkar padang jamban dan rumah penduduk.
Di tempat sempit, pengerukan dilakukan dengan tenaga manusia. Dengan tenaga manusi, kedalaman pengerukan hanya setengah meter. Di samping itu, untuk menghindari kemacetan lalu lintas, pengangkutan ke tempat pembuangan akhir harus dilakukan pada malam hari sehingga hasilnya tidak maksimal.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid