Banda Aceh, Aktual.co — Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyatakan telah mengeksaminasi (telaah) qanun No 14/2002 tentang hutan Aceh dan Qanun  No 15/2002 tentang izin kehutanan Aceh. 
Kedua qanun yang disahkan pada masa Abdullah Puteh menjadi gubernur Aceh itu, dinilai berpotensi korupsi. Dua qanun itu pula yang dipersolkan Koalisi Anti Mafia Hutan Jakarta agar dicabut. Eksaminasi ini melibatkan sejumlah pakar hukum di Aceh seperti Taqwaddin, Mawardi Ismail dan pakar hukum lainnya.
“Hasil eksaminasi kami, qanun itu juga bertentangan dengan UU terbaru. Misalnya, qanun itu memuat UU No.18/2001 tentang Otsus Aceh sebagai landasan yuridis, padahal UU itu tidak berlaku lagi seiring dengan disahkannya UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” kata Koordinator Masyarakat Transfaransi Aceh, Alfian kepada Aktual.co, Senin (22/12).
Hasil eksaminasi disimpulkan bahwa qanun itu berpotensi menimbulkan kerugikan keuangan negara karena memberikan rekomendasi dan alternatif solusi terhadap sejumlah Perda di bidang kehutanan yang berpotensi menimbulkan kerugian. 
Dalam memberi izin,  Qanun No. 15 Tahun 2002 Tentang Perizinan Kehutanan Aceh mengatur perizinannya terpusat pada gubernur , namun tidak mengatur kewenangan bupati/walikota. Hal ini berbeda dengan aturan menteri kehutanan yang memberi kewenangan perizinan pada masing-masing tingkat yaitu, Menteri Kehutanan yang mencakup beberapa provinsi, gubernur yang mencakup beberapa kabupaten/kota dan bupati/walikota.
Eksaminasi dilakukan pada 9 September 2014 lalu dan turut dihadiri dua anggota DPRA yaitu Ramadhana dan Abdullah Saleh.
Dalam qanun itu tidak mengatur rinci,  contoh kegiatan hutan kemasyarakatan. Bagaimana yang dimaksud hutan kemasyarakatan dan apa kegiatannya. Kegiatan hutan kemasyarakatan ini rawan terjadi penyalahgunaan izin usaha. Memberikan kesempatan kegiatan hutan kemasyarakatan dikawasan hutan lindung untuk dimanfaatkan oleh oknum tertentu melakukan kegiatan diluar dari izin yang dimiliki.
Menurut dia, Anggota DPRA sepakat merevisi qanun itu DPRA periode 2014-2019 ini. “Kita kawal terus persoalan ini, sehingga sektor hutan tidak dijadikan tempat subur tindakan yang berpotensi korupsi.”
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch menilai ada lima Perda yang dinilai memberi celah kepada para kepala daerah untuk melakukan korupsi besar. 
Kelima perda tersebut berisikan, Qanun nomor 14 tahun 2002 tentang kehutanan Propinsi NAD, Qanun nomor 15 tahun 2002 tentang perizinan kehutanan Propinsi NAD dan Perda nomor 12 tahun 2013 tentang pengelolaan pertambangan mineral dan batubara Propinsi Sumsel.
“Kecenderungan ini muncul di luar Jawa. Mereka tidak korupsi pengadaan, tapi melalui perizinan,” kata Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Yuntho di kantor ICW, Jl Kalibata Timur Raya, Jakarta Selatan, Minggu (21/12).

Artikel ini ditulis oleh: