Jakarta, Aktual.co — Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wicipto Setiadi menyebut, Perppu No 1 Tahun 2014 dan Perppu No 2 Tahun 2014 telah dibentuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UUD 1945.
“Sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Putusan Perkara No.138/PUU-VII/2009, menurut pemerintah Perppu No 1 Tahun 2014 dan Perppu No 2 Tahun 2014 pembentukkannya secara formil telah memenuhi ketentuan,” kata Wicipto selaku perwakilan Pemerintah ketika membacakan keterangan Presiden dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (16/12).
Wicipto menegaskan, pembentukan kedua Perppu tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Pasal 1 angka $ UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan (Perppu) dan Putusan MK No 138/PUU-VII/2009.
Hal itu dia tegaskan dalam menanggapi tujuh gugatan untuk pengujian formil dan materil atas Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada), serta Perppu No 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945.
Para pemohon menganggap bahwa kedua Perppu tersebut telah melanggar prosedur penetapan Perppu sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Putusan Perkara MK No 138/PUU-VII/2009.
Bahwa terhadap keputusan MK tersebut, Pemerintah kemudian berpendapat bahwa Perppu ditetapkan sebagai kewenangan konstitusional Presiden.
“Tetapi alasan-alasan yang menjadi dasar penetapan kedua Perppu tersebut sepenuhnya mengikuti kriteria mengenai syarat kegentingan memaksa yang telah diputuskan oleh MK dalam putusan No.138/PUU-VII/2009,” jelas Wicipto.
Terkait dengan syarat kegentingan yang kemudian menjadi alasan penetapan kedua Perppu tersebut, para pemohon menilai bahwa menilai bahwa pembentukan peraturan tersebut tidak memenuhi syarat konstitusional kegentingan yang memaksa yang disyaratkan oleh UUD 1945 dan juga Putusan MK Nomor 138/PUU – VII/2009.
Sementara itu Wicipto mengatakan bahwa Perppu No 1 Tahun 2014 dan Perppu No 2 Tahun 2014 adalah wujud respon pemerintah dalam hal ini adalah Presiden, dalam menyikapi perkembangan dinamika hukum, dinamika tata pemerintahan dan dinamika sosial yang berkembang di setiap lapisan masyarakat.
“Di mana perkembangan tersebut terindikasi mengarah pada keadaan genting dan memaksa, sehingga banyak aksi penolakan terhadap UU No. 22 tahun 2014 tentang Pilkada dan beberapa pasal dalam UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” papar Wicipto.
Meskipun para pemohon mengakui bahwa kondisi kegentingan yang memaksa memang menjadi kewenangan Presiden untuk menafsirkan, namun subjektifitas tersebut harus memiliki dasar objektifitas yang telah disyaratkan oleh konstitusi.
Lebih lanjut Wicipto mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga unsur penting yang dapat menimbulkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu, unsur ancaman yang membahayakan, unsur kebutuhan yang mengharuskan, dan unsur keterbatasan waktu yang tersedia.
“Presiden mempunyai hak subjektif untuk menetapkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Subjektifitas kewenangan Presiden tersebut selanjutnya akan dinilai objectivitasnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Wicipto.
Oleh sebab itu pemerintah berpendapat bahwa berdasarkan amanat ketentuan Pasal 22 UUD 1945, secara formil pembentukan Perppu merupakan kewenangan Presiden dan oleh karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu

















