Jakarta, Aktual.co — Bank sentral Rusia pada Selasa (16/12) pagi mengumumkan kenaikan dramatis suku bunga utamanya dari 10,5 persen menjadi 17 persen. Hal tersebut dilakukan setelah rubel terjun ke rekor terendah baru.
“Keputusan ini bertujuan untuk membatasi kenaikan secara substansial risiko depresiasi rubel dan risiko inflasi,” kata bank sentral dalam sebuah pernyataan yang dimuat di situsnya sekitar pukul 01.00 waktu setempat.
Rubel mengalami “mini-crash”, turun 9,5 persen dalam satu hari meskipun bank sentral berulang kali melakukan intervensi. Penurunan terjadi karena bank memperingatkan bahwa harga minyak yang rendah bisa memicu kontraksi hampir lima persen pada tahun depan dan karena meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat atas krisis Ukraina.
Tingkat suku bunga yang jauh lebih tinggi sekarang menjadi ancaman bakal mencekik perekonomian. Rubel menembus tingkat 64 terhadap dolar dan 78 terhadap euro untuk pertama kalinya, meskipun bank sentral Rusia telah menghabiskan sekitar enam miliar dolar AS (4,8 miliar euro) sejauh bulan ini untuk memperlambat penurunan mata uangnya.
Kantor berita Rusia mengatakan rubel sempat melonjak dari 61 menjadi 60 terhadap dolar sekitar 13.00 GMT, mungkin karena intervensi terbaru bank sentral, tetapi itu tidak menghentikan kemerosotan lebih lanjut.
Setelah kehilangan lebih dari 49 persen dari nilainya terhadap dolar pada tahun ini, penurunan rubel sekarang lebih buruk dari 48 persen dari mata uang hryvnia di Ukraina, yang sedang menghadapi perang dan di ambang kebangkrutan.
Dukungan Rusia terhadap pemberontak di Ukraina timur dan aneksasi atas Krimea membawa sanksi-sanksi Barat yang memberi rubel pukulan pertamanya awal tahun ini.
Ketegangan geopolitik telah meningkat dalam beberapa hari terakhir menyusul keputusan penilaian anggota parlemen AS untuk menyetujui sanksi lebih besar terhadap Rusia dan pengiriman bantuan perangkat militer sampai dengan 350 juta dolar AS ke Kiev.
Namun jantung masalahnya adalah jatuhnya harga minyak.
Setengah dari pendapatan Rusia berasal dari minyak dan gas, dan turunnya harga minyak mentah dengan setengahnya dalam enam bulan terakhir telah memukul keuangan negara itu dan kepercayaan warga Rusia pada rubel.
Rubel “terjun bebas” Penurunan rubel “didorong oleh sentimen dan rasa takut,” kata Chris Weafer, konsultan Macro Advisory consultancy.
“Rubel sekarang terjun bebas berdasarkan faktor ketakutan ini,” tambahnya.
“Aturan normal ekonomi tidak berlaku,” kata Weafer, menambahkan bahwa “pemerintah harus menemukan cara untuk menghentikan penurunan ini dan mengembalikan kepercayaan.” Ekonom Maxim Buyev menulis di harian Vedomosti bahwa “pemerintah harus menawarkan rencana reformasi yang jelas” untuk mengembalikan kepercayaan pada mata uang.
Neil Shearing, kepala ekonom emerging market di Capital Economics yang berbasis di London, mengatakan kejatuhan rubel telah menyebabkan “meningkatnya perasaan bahwa krisis mata uang di luar kendali”.
Dia mengatakan itu juga meningkatkan spekulasi bahwa pemerintah dapat melakukan langkah-langkah ketat seperti kontrol modal.
“Dengan tidak adanya perbaikan dalam hubungan dengan Barat dan pencabutan sanksi ekonomi dan keuangan di Rusia, permohonan kontrol modal dan gagal bayar (default) utang eksternal akan meningkat,” kata dia.
Gubernur bank sentral Rusia Elvira Nabiullina mengatakan pekan lalu bahwa bank siap untuk menghabiskan sampai 85 miliar dolar AS selama tahun depan untuk menopang rubel jika diperlukan.
Bank sentral pada Senin memberikan prospek suram terbaru untuk ekonomi Rusia, memprediksi dalam “skenario tertekan” yang ditulis dalam laporan kuartalannya tentang kebijakan moneter sebuah kontraksi 4,5-4,8 persen tahun depan jika harga minyak tetap pada 60 dolar AS.
Anggaran pemerintah 2015 seimbang dengan asumsi penjualan minyak 95 dolar AS per barel, yang berarti keuangan pemerintah akan genting jika tidak ada “rebound” cepat dalam harga minyak mentah.
Vedomsti melaporkan bahwa pemerintah berencana untuk memotong pengeluaran anggaran sebesar 10 persen pada 2015. Pemotongan ini akan mempengaruhi program transportasi serta pengeluaran untuk ruang, penerbangan dan pembangunan Timur Jauh, kata laporan itu.
Bank sentral juga mengatakan inflasi akan mencapai puncaknya pada 11,5 persen di kuartal pertama 2015 sebelum bergerak turun kembali, menambahkan bahwa inflasi akan kembali ke target empat persen hanya pada akhir 2017.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka

















