Jakarta, Aktual.co — Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) telah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk menginstruksikan Pertamina menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 88 di pasaran dan menggantinya dengan BBM RON 92.
Menanggapi hal itu, pihak Pertamina mengaku siap jika memang Pemerintah menyetujui rekomendasi RTKM tersebut.
“Itu kan rekomendasi ke pemerintah, kalau pemerintah menerima maka ya kita mendukung saja,” kata Direktur Marketing and Trading Pertamina Ahmad Bambang melalui pesan singkatnya kepada Aktual.co, Jakarta, Senin (22/12).
Menurutnya, Pertamina tidak akan siap jika saat ini BBM Ron 88 (Premium) langsung dihentikan. Pertamina akan siap apabila hal itu diterapkan secara bertahap.
“Kalau saat ini Premium langsung dihentikan, memang belum siap, makanya rekomendasi RTKM Setahu saya secara bertahap,” ujarnya.
Perlu diketahui, lanjutnya, bahwa saat ini produksi kilang Pertamina untuk RON 92 hanya 200.000 barel per bulan sedangkan Naphta lebih dari 3,5 juta barel per bulan. “Naphta ini harganya murah sehingga harus diblending dengan RON 92 atau lebih agar bisa menjadi Premium. Oleh karena itu, Pertamina masih Impor RON 92 atau lebih untuk menjadikan Naphta tersebut menjadi premium”.
“Jika RON 88 dihapus, maka Pertamina harus mengolah lagi Naphta tersebut agar menjadi RON 92 bahkan lebih. Inilah yang disiapkan Pertamina melalui proses di TPPI serta menyiapkan infrastruktur lainnya (tangki & kapalnya untuk dibawa ke Tuban),” imbuhnya.
Ia menjelaskan, jika TPPI sudah operasi penuh, maka Pertamina bisa memproduksi lebih dari 5 juta barel per bulan RON 92. Ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan sehingga masih perlu impor RON 92. Kebutuhan baru bisa diatasi jika RDMP dan kilang GRR telah beroperasi.
Dikatakannya, kalau untuk operasional TPPI, urusannya tinggal Pertamina dengan Pemerintah, diharapkan bisa selesai dalam 3-6 bulan. Tetapi untuk RDMP dan kilang baru bisa emapt sampai enam tahun.
“Tapi mestinya juga dipikirkan apakah masyarakat kita terutama angkot, mikrolet, sepeda motor, dan lain-lain siap untuk langsung disodori Pertamax, tidak ada pilihan premium yang lebih murah?  Premium kalau tidak disubsidi, secara hitung-hitungan bisa lebih murah antara sekitar 10 persen,” tambahnya.
Ia menuturkan, perlu adanya keadilan antara Pertamina dengan Badan Usaha. Keadilan ini mencakup antara lain, kewajiban menanggung stok nasional (pesaing tidak punya stok nasional), penggunaan BBM non-subsidi untuk own used truck distribusinya (pesaing pakai PSO), dan PBBKB 5-10 persen (Pertamina tiap bulan ditagih dan harus bayar sementara pesaing tidak).
“Di negara lain, ada entry barrier bagi pemain baru untuk bagun infrastruktur dan turut menanggung stock nasional. Itu sebabnya Pertamina sudah sejak 2007 mengajukan izin SPBU di Sabah dan Serawak yang banyak orang Indonesia, tidak pernah berhasil. Kok negara kita demikian mudah ya kasih ijin ke pihak asing?,” tuturnya.
Lalu, apakah para pesaing juga punya kewajiban untuk menjual ke pelosok-pelosok negeri?
“Tidak, tidak ada itu. Itulah sebabnya mereka hanya merebut pasar Pertamina di kota-kota besar. Masalahnya adalah agar Pertamina bersaing di kota-kota besar maka beban distribusi ke daerah-daerah remote terpaksa tidak di-share (semacam subsidi silang) dan harus ditanggung daerah itu sendiri sehingga harga di dearah-daerah remote akan mahal bila pertamina tidak mau rugi,” terangnya.
“Kalau Pertamax disubsidi bagaimana dengan orang-orang mampu yang selama ini sudah pakai Pertamax non-subsidi? Pasti pindahlah, Lah wong barangnya sama. Kalau tidak, pemerintah sibuk lagi cari cara bagaimana agar subsidi tidak salah sasaran,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh: