Jakarta, Aktual.co — Managemen Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Migas (SKK Migas) menyatakan sehari saja kegiatan produksi minyak dan gas bumi terganggu, maka potensi penerimaan negara yang terancam raib mencapai triliunan rupiah.

“Untuk menghindarinya, perlu dukungan pemangku kepentingan,” kata Kepala SKK Migas Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), Hanif Rusdi Rabu (17/12) siang.

Dalam penambangan migas, dikenal kegiatan pengembangan atau fase produksi. Kegiatan ini mencakup pengeboran sumur pengembangan atau sumur produksi, dan pembangunan fasilitas produksi. Pada proses produksi, migas dialirkan ke sumur lalu naik ke permukaan melalui pipa salur. Migas selanjutnya dialirkan ke separator yang akan memisahkan liquid (minyak dan kondensat) dengan gas. Liquid dialirkan menuju tangki pengumpul, sementara gas dialirkan kepada konsumen.

“Biaya yang timbul dari kegiatan ini ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor dan nantinya akan dikembalikan dalam bentuk produksi migas saat lapangan sudah menghasilkan,” katanya.

Kegiatan produksi migas dilaksanakan melalui proses panjang yang menantang, baik dari aspek teknis maupun dari aspek legal dan sosial. Mulainya fase pengembangan ditandai dengan keluarnya persetujuan rencana pengembangan lapangan atau ‘plan of development pertama (POD I).

POD I ini harus memperoleh persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan mempertimbangkan masukan dari SKK Migas.

Sebelum persetujuan diberikan, Kementeriaan ESDM melakukan konsultasi tentang POD I dengan pemerintah daerah. Untuk POD kedua dan seterusnya, persetujuan diberikan oleh Kepala SKK Migas, katanya.

Selain persetujuan POD dari Kementerian ESDM dan SKK Migas, lanjut dia, kontraktor migas pada tahap produksi masih harus mendapatkan sejumlah izin dari berbagai instansi lain, baik instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kontraktor katanya juga harus mempersiapkan pembebasan lahan. Pada tahapan ini, kontraktor sering mengeluhkan rumitnya prosedur yang harus ditempuh untuk membebaskan lahan bagi pembangunan fasilitas produksi.

Perizinan yang sangat banyak dan pembebasan lahan yang sulit menyebabkan eksekusi POD sering terlambat, dan akhirnya produksi juga ikut terlambat.

Contoh paling nyata menurut dia adalah pada pembangunan fasilitas produksi penuh Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu. Proyek ini sangat strategis karena menjadi satu-satunya harapan Indonesia untuk meningkatkan produksi minyak nasional.

Namun, eksekusi proyek ini terlambat karena isu perizinan dan pembebasan lahan. Selain kendala dalam proses persiapan pembangunan fasilitas, kegiatan produksi kerap mendapat gangguan saat kegiatan sudah berjalan.

Kegiatan produksi migas tidak hanya terkait dengan pemangku kepentingan di sektor ini semata. Rangkaian panjang proses teknis dan non teknis mengakibatkan kegiatan ini juga dipengaruhi oleh pemangku kepentingan lain di luar sektor migas.

Presiden RI telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Inpres ini memberikan instruksi kepada 11 menteri, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala SKK Migas, para gubernur, bupati, dan wali kota untuk mendukung pencapaian produksi minyak nasional paling sedikit rata-rata 1,01 juta barel per hari pada tahun 2014.

Dalam kenyataannya, inpres ini belum berjalan sebagaimana diharapkan. Bisnis hulu migas merupakan proyek negara dan kegiatan produksi merupakan aktivitas inti usaha ini karena pada fase inilah penerimaan negara dihasilkan.

“Sudah seharusnya semua pihak mendukung kegiatan produksi sebagai bagian usaha negara mensejahterakan rakyat Indonesia,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka