Jakarta, Aktual.co —Penduduk Jakarta sepertinya terbiasa dengan kondisi banjir. Ketidakmampuan dalam menghadapi banjir memunculkan kepasrahan dan hanya menunggu air surut. Seperti yang terjadi pada tahun 1950-an, banjir merendan Pondok Dayung, Krukut, Lio, Rawa Terate, dan Gang Talip. Sedikitnya 200 rumah terendam dan 3.000 keluarga kebanjiran akibat banjir setinggi 1,5 meter. Sebab banjir itu adalah rawa-rawa yang penuh dengan sampah dan saluran air yang lebih tinggi daripada jalan. Sebagian besar penduduk adalah buruh yang rumahnya terlalu rapat sehingga sampah tidak bisa dibersihkan dan dibuang ke selokan.
Selain itu, daerah Penjaringan dan Jati Petamburan juga dilanda banjir. Untuk meringankan beban masyarakat yang terkena banjir di butuhkan biaya sekitar Rp 105.000, namun di Kementerian Sosial hanya tersedia dana Rp 10.000.
Walikota Jakarta pada waktu itu, Soewirjo, meninjau tempat-tempat yang dilanda banjir. Kunjungannya itu tertanggal 1 November 1950. Ia mengunjungi keadaan kampung-kampung di Jakarta, terutama di daerah Pondok Dayung, Krukut. Daerah Krukut adalah daerah rendah bekas rawa dan tempat pembuangan sampah yang kemudian dijadikan perumahan. Di Kelurahan Krukut terdapat sekitar 600 rumah dengan penduduk 4.000 orang dimana sebagian penduduknya adalah keturunan Arab. Rumah di daerah Krukut ini sangat kotor, sempit, dan becek karena air tidak bisa mengalir dengan lancar.
Sebagaimana dikutip dari koran Indonesia Raja tanggal 2 November 1950, “Rumah-rumah rakjat sekitar Krukut ini sangat sempit dan termasuk rumah jang paling kotor di Djakarta dan sangat menyedihkan. Kesehatan sama sekali tak dapat terpelihara berhubung dengan keadaan bandjir jang saban kali datang hingga rumah-rumah jang sempit dan kotor itu bertambah betjek. Air-air dalam got-got tergenang tak dapat mengalir. Sukar digambarkan bagaimana rakjat mandi, minum, mentjutji, dan jang lebih hebat lagi sukar dibajangkan bagaimana orang dapat tidur dan memasak nasi di atas tanah jang tidak pernah kering-keringnja itu,”.
Dalam kunjungannya itu, Soewirjo mendengar keluhan warga yang mengatakan bahwa biasanya dalam setahun daerah Krukut hanya kebanjiran satu kali, tetapi dalam tahun 1950 mereka sudah kebanjiran tiga kali.
Meskipun telah mendapat pertolongan ketika banjir pada Oktober lalu dari Panitia Penolong Korban Bencana, namun ternyata tidak dapat menyelesaikan kesusahan penduduk. Penduduk menginginkan penanganan banjir yang serius, bukan hanya sekedar bantuan di saat banjir. Menurut mereka, banjir terjadi karena kanal Duri sudah rusak dan Sungai Krukut dan Sungai Cideng mengalami pendangkalan.
Pada saat itu, muncul juga kritikan dari warga seperti yang dimuat dalam koran Indonesia Raja tanggal 2 November 1950. Ia mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan warganya, tetapi malah sibuk membangun gedung-gedung besar dan perkampungan orang asing. Sepertinya warga mulai mengeluh soal kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang lebih mementingkan kepentingan proyek-proyek besar dan melupakan kepentingan rakyat, terutama soal perbaikan kampung.
Pada tahun 1952, terjadi banjir lokal yang tidak begitu meluas. Banjir melanda Kompleks Petojo, Jembatan Lima, Gang Hauber, Krukut, Jalan Asem Lama, Jalan Sumatera, Kampung Lima, Kampung Baru dan sekitarnya. Banjir itu terjadi karena aliran Sungai Cideng yang meluap.
Akibat banjir, toko-toko beras pun menjual beras dengan harga yang lebih murah. Karena jika banjir datang, pedagang takur beras yang mereka jual akan terendam air. Seperti yang terjadi di daerah Petojo, beras yang normalnya dijual Rp 3 per liter, dijual murah menjadi Rp 1,25 per liter. Peristiwa itu dimuat dalam harian Merdeka tanggal 24 Januari 1952.
Menanggapi adanya banjir yang terjadi pada tahun 1952 di Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum menyatakan bahwa banjir terjadi karena hujan turun sangat lebat di beberapa wilayah dan saluran air mengalami pendangkalan karena sudah lama tidak dikeruk. Untuk itu, Kota Praja Jakarta mengusulkan agar sungai yang ada di Tanah Abang diperdalam. Namun, Kementerian Pekerjaan umum belum memberikan jawaban akan usulan tersebut karena menurut mereka itu menjadi tanggungjawab Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Raya. Untuk mengeruk sungai, kota Praja telah memesan dua mesin keruk lumpur dari Belanda, namun mesinnya baru datang dua bulan kemudian.
Pada tahun 1953, 41 rumah di Tanah abang terendam banjir karena Sungai Cideng dan Sungai Krukut yang meluap. Hal yang sama menimpa wilayah Kampung Duri dan Penjaringan. Di Penjaringan, ada 5.000 orang yang terpaksa mengungsi.
Tahun 1954, tepatnya bulan November, Jakarta kembali mengalami banjir dimana banjir terjadi di Jalan Budi Utomo, Lapangan Banteng, dan Jalan Aladyrus. Banjir tersebut setinggi 30 cm. Dua tahun kemudian, tahun 1956, banjir melanda tanah-tanah rendah di Jalan Thamrin. Pada saat itu muncul gagasan untuk membuat waduk di Pasar Ikan yang akan memompa air ke laut. Untuk proyek itu, membutuhkan dana Rp 26 juta dan diperkirakan selesai dalam 2 sampai 3 tahun.
Jika dilihat, banjir pada tahun 1950 sebagian besar melanda daerah pusat yang dilalui aliran Sungai Grogol, Sungai Krukut, dan Sungai Ciliwung. Batas daerah selatan yang sering dilanda banjir adalah sekitar Kebon Sirih, di daerah barat adalah Grogol dan Cideng, dan di timur ada Senen dan Tanah Tinggi.
Pada periode tersebut, wilayah yang terkena banjir belum menunjukkan perluasan yang sangat besar dimana banjir masih melanda daerah sekitar Sungai Grogol, Sungai Krukut dan Sungai Ciliwung. Menurut Restu Gunawan dalam bukunya berjudul Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, kemungkinan besar meskipun pembangunan perumahan dan perkantoran mulai dilakukan di daerah tersebut, namun dampak pembangunan terhadap banjir belum begitu dirasakan.
(Bersambung…)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid

















