Ilustrasi susu kurma (Pexels)

Jakarta, aktual.com – Dalam salah satu riwayat Shahih al-Bukhari, dikisahkan pengalaman Abū Hurairah RA yang menggambarkan keteguhan hati seorang sahabat Nabi dalam menghadapi kelaparan yang luar biasa. Pada suatu hari, Abū Hurairah—yang nama aslinya adalah ʿAbd al-Raḥmān—dilanda rasa lapar yang begitu hebat hingga membuat tubuhnya lemas. Dalam kondisi demikian, ia bahkan menyumpal perutnya dengan batu demi meredam rasa lapar yang mendera. Ia bersumpah,

“Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia. Aku pernah tengkurap bersandar pada sisi badanku karena kelaparan. Segenggam batu sudah kusumpal pada perutku untuk menahan lapar.” (HR. al-Bukhārī).

Karena tak sanggup menahan, ia pun keluar dari Masjid Nabawi dan duduk di pinggir jalan, berharap bertemu seseorang yang dapat membantunya. Tak lama, Abū Bakr RA melintas. Dengan penuh harap, Abū Hurairah menyapanya dan mengajukan pertanyaan seputar tafsir ayat Al-Qur’an. Di balik pertanyaan itu, sebenarnya tersimpan harapan.

“Maksudku bertanya demikian tidak lain agar ia (Abū Bakr) mengajakku makan,” tuturnya kemudian.

Namun, Abū Bakr hanya menjawab seperlunya lalu berlalu, tanpa menyadari maksud tersembunyi di balik pertanyaan itu.

Beberapa saat kemudian, ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA melintas. Abū Hurairah kembali mengajukan pertanyaan serupa, berharap ʿUmar menangkap isyarat yang tersirat. Namun, sebagaimana sebelumnya, ʿUmar menjawab seadanya dan melanjutkan langkahnya.

Tak lama setelah itu, Rasulullah SAW datang. Begitu melihat Abū Hurairah yang berdiri dengan tubuh lemah di pinggir jalan, beliau tersenyum dan menyapanya penuh kasih,

“Wahai Abū Hurairah.”

“Siap, ya Rasulullah,” jawabnya.

Nabi SAW kemudian memberi isyarat agar ia mengikuti beliau pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Rasulullah SAW melihat ada sebuah wadah berisi susu di atas meja. Beliau bertanya kepada istrinya,

“Dari mana susu ini?”

“Itu hadiah untuk engkau dari seorang tamu perempuan,” jawab sang istri.

Namun Rasulullah SAW tidak langsung meminumnya. Beliau juga tidak segera memberikannya kepada Abū Hurairah yang jelas-jelas sedang kelaparan.

Sebaliknya, beliau berkata, “Abū Hurairah!”

“Ya, Rasulullah,” jawabnya lagi.

“Panggil ke mari para ahl al-ṣuffah semuanya. Aku mengundang mereka untuk meminum susu ini.”

Abū Hurairah segera melaksanakan perintah itu. Dalam benaknya, muncul kegelisahan: bagaimana mungkin satu wadah susu bisa dibagi untuk puluhan orang? “Padahal aku yang lapar, tapi justru harus membagikan kepada yang lain,” batinnya.

Setelah para ahl al-ṣuffah datang dan duduk, Nabi SAW berkata, “Ambil wadah yang berisi susu itu dan tuangkanlah kepada masing-masing mereka.”

Abū Hurairah pun menurut. Ia menuangkan susu ke dalam gelas satu per satu untuk para tamu. Ajaibnya, susu itu tidak juga habis, walau ia bolak-balik menuangkannya.

Hingga akhirnya semua orang telah kenyang. Tinggallah Nabi SAW dan Abū Hurairah yang belum meminumnya. Rasulullah SAW lalu berkata sambil tersenyum, “Wahai Abū Hurairah.”

“Siap, wahai Rasulullah,” sahutnya.

“Sekarang, tinggal aku dan engkau yang belum minum.”

“Benar, Rasulullah!” jawabnya.

“Duduk dan minumlah susu ini,” perintah beliau.

Abū Hurairah duduk dan mulai meminumnya. Setelah beberapa teguk, ia hendak memberikan kembali wadah itu kepada Nabi SAW. Namun Rasulullah memintanya untuk minum lagi. Beliau terus menyuruhnya minum hingga akhirnya Abū Hurairah berkata, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada lagi tempat di perutku (untuk menampung susu itu).”

Nabi SAW pun tersenyum, mengambil wadah tersebut, memuji Allah, membaca basmalah, lalu meminum susu yang tersisa.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain