Jakarta, Aktual.com – Solar kembali langka, dan ini sudah kesekian kalinya dalam perspektif permainan kebijakan BBM di Indonesia. Sebenarnya apa benar Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar apalagi yang bersubsidi mengalami kekurangan pasokan di beberapa daerah dalam 2 (dua) minggu terakhir. Sementara pihak Pertamina menyampaikan dalam waktu bersamaan, bahwa pasokan BBM khususnya solar subsidi aman dan terjaga kuantitasnya.

Lalu, apakah yang menjadi penyebab adanya kekurangan pasokan BBM jenis solar subsidi ini? Setidaknya publik jangan begitu mudah memberikan tuduhan atau stigma terlebih dahulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina yang selama ini menjadi obyek kesalahan terkait pasokan BBM di tanah air. Apabila publik lebih jauh memahami adanya perubahan peran Pertamina setelah adanya 2 (dua) lembaga yang mengatur kebijakan BBM di sektor hulu yaitu Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas bumi (SKK Migas) dan di sektor hilir dikelola oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Sejak Tahun 2020, kebijakan penentuan kuota BBM jenis solar yang bersubsidi yang awalnya ditentukan per wilayah diubah menjadi berdasarkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) berada pada kewenangan BPH Migas. Dengan adanya kebijakan ini, maka dapat disimpulkan sedari awal bahwa penentuan kuota subsidi bukanlah kewenangan Pertamina. Termasuk, adanya penyimpangan penggunaan BBM jenis solar bersubsidi pada sektor pertambangan yang illegal disinyalir terjadi di beberapa daerah seperti diberitakan oleh media, salah satunya di Provinsi Bangka Belitung. Penyimpangan penggunaan BBM bersubsidi jenis solar ini semakin menunjukkan bukti tidak bekerjanya sistem digitalisasi secara efektif dan efisien.

Dengan adanya kekurangan pasokan BBM jenis solar subsidi hampir dua minggu terakhir, yaitu diakhir bulan September sampai minggu kedua Oktober 2021. Maka, publik patut meminta pertanggungjawaban kedua lembaga tersebut, dan tidak tepat diarahkan kepada Pertamina. Terlebih lagi kalau permasalahan kekurangan solar dimaksud disebabkan oleh adanya penyimpangan dalam alokasi kuota subsidi atau tidak diterima oleh kelompok sasaran.

(Oleh: Defiyan Cori)

Artikel ini ditulis oleh:

Dede Eka Nurdiansyah