Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memasuki mobilnya usai diperiksa Bareskrim di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (14/7). Ahok diperiksa terkait proses pembelian lahan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt/16.

Jakarta, Aktual.com – Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, mengatakan penggunaan hak diskresi oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bisa menjadi pembenaran bagi kepala daerah lainnya untuk melakukan hal serupa.

“Makanya dari sisi hukum administrasi negara ataupun tata negara, dilihat niat diskresi tersebut. Niatnya untuk siapa?,” kata Yayat di Jakarta, Selasa (20/7).

Gubernur Ahok diketahui menggunakan hak diskresinya dalam memberikan izin reklamasi di Teluk Jakarta kepada pengembang melalui ‘Perjanjian Preman’. Dalam ‘Perjanjian Preman’ itu Ahok menentukan besaran kontribusi tambahan sebesar 15 persen dikali nilai jual objek dan lahan yang dijual.

Perjanjian Preman sendiri dibuat Ahok karena DPRD DKI tidak kunjung mengesahkan dua Peraturan Daerah tentang reklamasi di Teluk Jakarta. Di saat dua aturan itu digodok DPRD DKI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya suap dari pengembang kepada anggota dewan.

Menurut Yayat, penggunaan diskresi oleh Ahok selayaknya dilihat dengan obyektif. Diskresi yang belakangan mengemuka dari perjanjian Ahok dengan pihak pengembang, harus dilihat isi dan tujuannya. Semuanya dibuka secara transparan sehingga publik bisa menilai apa motif diskresi yang digunakan Ahok.

Apakah diskresi digunakan untuk kepentingan publik, dalam hal ini warga Ibukota, atau sebaliknya. Yakni untuk kepentingan pengembang dan kepentingan tertentu lainnya.

“Ada deal apa dibalik diskresi itu? Ada perjanjian apa? Kan kemarin ada MoU antara Gubernur dengan pengembang, isinya apa? Kita harus terbuka, semuanya harus terbuka. Pengembang memberi apa, DKI memberi apa,” jelas Yayat.

Setelah dibuka secara transparan perjanjian antara Ahok dengan pengembang, publik bisa menilainya. Apakah ada unsur pelanggaran hukum, tindak pidana korupsi ataukah ada mal administrasi. Aparat penegak hukum juga disampaikan dia bisa masuk dari situ.

“Itu yang harus dilihat, apakah ada kesalahan, ada kekurangan atau ada indikasi lain yang terjadi,” demikian Yayat.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby