Terlebih, Majelis Kehormatan MK tidak dapat dibentuk untuk memberhentikan Arief Hidayat, karena pembentukan majelis kehormatan didasarkan atas usulan dewan etik kepada mahkamah dalam hal dewan etik berpendapat hakim terlapor atau hakim yang diduga telah melakukan “pelanggaran berat” atau mendapatkan “teguran lisan dan/atau tertulis sebanyak 3 (tiga) kali”. Arief Hidayat “tidak” di jatuhkan pelanggaran berat dan hanya mendapatkan “2 (dua) kali teguran lisan”.
“Secara teori, terdapat perkembangan sistem etika, yaitu (i) tahap teologis, (ii) tahap ontologis, (iii) tahap positivist, dan (iv) tahap fungsional tertutup dan terbuka “tahap peradilan etika. Fase etika yang ada sekarang ini telah masuk dalam tataran etika fungsional. Keberadaan dewan etik ini (bagian dr etika fungsional) menjadi suatu hal yang wajib, dimana dalam setiap lembaga Perlu adanya lembaga “ethics infrastructure in public offices” yang mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak kode etik,” ujarnya.
Dewan etik MK, lanjut dia, adalah wujud dari tahap etik secara fungsional. Secara prosedural, Arief Hidayat sudah mendapatkan teguran atas pelanggaran ringan. Teguran lisan sudah di sampaikan kepada Arief Hidayat. Secara fungsional Dewan Etik sudah membuktikan dan memberikan putusan maka secara nyata Arief Hidayat sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Artinya dengan adanya putusan dewan etik tersebut berakhir pula permasalahan etika yang disangkakan kepada Arief Hidayat,” kata dia.
Bila telah terjadi gejala dibeberapa putusan MK dikaitkan dengan kekisruhan yang terjadi, katanya, argumentasi kritik yang di lontarkan beberapa orang terhadap putusan MK tidak dilihat dari subtansi pertimbangan Mahkamah dalam suatu putusan.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara