Jakarta, Aktual.com —Dari beredarnya tujuh hingga 12 kursi Menteri yang disebut-sebut harus diganti, Presiden Joko Widodo justru hanya mengganti lima kursi Menteri dan satu selevel Menteri.
Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy menilai telah terjadi aksi tarik-menarik dan kompromi optimal di lingkungan Istana. Sehingga kesempatan reshuffle Kabinet hanya melahirkan lima nama baru dan satu Menteri yang digeser.
“Saya menduga ini adalah kompromi optimal dari Megawati, Luhut B Panjaitan, Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Joko Widodo sendiri. Sulit dihindari berlangsungnya tekan menekan secara politik walau dilakukan dengan lembut. Masalahnya, apakah gesekan politik berbuah pergantian enam orang itu demi keluhuran kepentingan nasional,” kata Noorsy saat dihubungi Aktual di Jakarta, Jumat (14/8).
Menyoal nama Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said yang lolos dari reshuffle meski sorotan publik kerap tertuju pada kinerja negatifnya dan kerap disebut mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, Noorsy menuturkan bahwa kedua nama tersebut memiliki dukungan kuat dari pihak yang berjasa pada Jokowi.
“Dia mendapat dukungan kuat dari pihak-pihak yang berjasa pada kampanye Pilpres,” ucapnya.
Ia menceritakan, setelah sah terpilih menjadi Presiden RI ke 7, Jokowi mengusung RPJMN 2015-2019 berisikan pembangunan infrastruktur. Dengan fokus ini Joko Widodo tidak sungkan mendengar anjuran IMF, Bank Dunia, ADB, OECD dan WEF agar mencabut subsidi pada sektor energi. Anjuran ini dilaksanakan setelah memilih personalia Kabinet Kerja yang walaupun kompetensi tidak memadai tetap pemegang teguh dan pelaksana setia mekanisme pasar bebas.
“Maka sejak pelantikan Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014 di berbagai media saya mengatakan, Kabinet Kerja tidak dalam jiwa dan semangat merealisasikan Trisakti dan Revolusi Mental. Satu dua personalia kabinet yang direkrut dengan rujukan politik berbagi kursi adalah orang-orang baik yang tidak pada tempatnya. Di bidang ekonomi lainnya, adalah sosok pemburu tahta dan kemudian bersikap ‘power and glory’, atau ‘enjoy the power’. Maka gejolak harga kebutuhan tak teratasi. Pertumbuhan melambat,” terang dia.
Menurutnya, panggung kekuasaan politik Indonesia sejak amandemen UUD 1945 pada 2001 selalu mempergelarkan perebutan kekuasaan yang mengabaikan kepentingan luhur bangsa dan negara. Itu tercermin pada parpol peserta pemilu, Pilpres atau pemilihan di tingkat I atau II.
“Atas nama kepentingan, mereka berkampanye, sebagaimana Joko Widodo berkampanye Trisakti. Giliran pada pemilihan aktor pelaksana dan penyelenggaraan pemerintahan, sejarah politik ekonomi Indonesia membuktikan, fundamentalisme pasar bebas yg menjadi penguasanya, mengekor hegemoni ekonomi politik di dunia,” tandas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka