M Djoko Yuwono, wartawan senior yang pernah jadi Redaktur Senior Pos Kota Grup, punya perspektif menarik sebagai pelaku media dalam memandang perkembangan Papua dari segi sosial-budaya, Salah satu yang jadi sorotan Redaktur Senior Poskota Grup ini, adanya gerakan memisahkan bahasa-bahasa lokal.daerah yang ada di Indonesia, dikeluarkan dari rumpun bahasa Austronesia. Salah satunya, adalah bahaya-bahasa lokal/daerah di Papua.
Berikut presentasi selengkapnya di depan forum Diskusi Akhir tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) dan Lembaga Studi Strategis Indonesia(LSISI). Kamis 28 Desember 2017
Media nasional selama ini lebih banyak memberitakan pembangunan Papua dari aspek fisik, yang sebenarnya memang sesuai dengan RPJMN 2015-2019 yang mana juga amat menekankan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dan penguasaan IPTEK bagi masyarakat Papua.
Hal ini patut disayangkan, sebab pendekatan sosial-budaya dan keatifan lokal justru merupakan modal sosial dan modal budaya yang sangat penting dibandingkan pembangunan pada aspek fisik seperti pembagunan ekonom dan Sumber Daya Manusia. Aspek Sosial-Budaya bisa mmenjadi landasan untuk membangun kawasan Papua saat ini. Pada tataran ini, aspek kebahasaan dalam pemberdayaan budaya nusantara dan kearifan lokal di Papua merupakan isu strategis yang laya fokus perhatian dalam forum diskusi akhir tahun GFI dan LSII hari ini.
Begini. Dalam upaya pengembangan bahasa dalam kerangka pemberdayaan budaya nusantara dan kearifan lokal, pemerintah saat ini sudah waktunya segera mengelola aspek sosial-budaya masyarakat Papua dalam bingkai NKRI secara lebih skematis dan strategis. Sebab jika tidak, maka keearifan lokal dan karakteristik –karakteristik masyarakat Papua justru akan menjadi bibit-bibit disintegrasi nasional bangsa dan negara kita di kemudian hari.
Maka itu pemanfaatan potensi kebahasaan di Papua sebagai bagian dari bahasa lokal/daerah harus mendapat perhatian yang ekstra besar dalam rangka merawat dan menegakkan kesatuan Indonesia.
Pemaksimalan potensi bahasa dapat dapat menjadikan bahasa-bahasa lokal/daerah untuk memperteguh aneka suka bangsa Indonesia yang sejatinya Bhineka Tunggal Ika itu. Meski berbeda-beda, hakikinya sama.
Ada sebuah tren yang bikin gusar saya belakangan ini. Yaitu adanya gerakan untuk memisahkan bahasa-bahasa lokal/daerah di Papua dalam pengelompokkan di luar rumpun Austronesia. Padahal, beberapa penelitian sebelumnya, semua bahasa yang terdapat di Indonesia masuk rumpun Austronesia. Termasuk di Papua.
Salah satu biang keladinya, sejauh amatan saya, berdasarkan penelitian yang dilansir oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) berdasarkan buku bertajuk Bahasa-Bahasa di Indonesia, pada 2006. Adanya pandangan dan hasil penelitian seperti itu pada perkembangannya menjadi masalah riusial dalam upaya integrasi bangsa.
Apalagi dengan semakin kuatnya gerakan eksternal dari berbagai kalangan pro separatisme seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau RMS di Maluku(Rakyat Maluku Selatan). Yang mana riak-riaknya masih terasa dalam denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga berbagai upaya untuk mengelompokkan ulang bahasa-bahasa lokal/daerah yang ada di Indonesia seperti Papua di luar rumpun Austronesia, dapat dipandang sebagai gerakan pelemahan internal NKRI.
Strategi SIL melakukan pengelompokkan ulang bahasa-bahasa di Indonesia, agaknya berkaitan dengan pergantian nama Irian menjadi Papua. Nama Irian merupakan pemberian Bung Karno, Presiden RI pertama, ketika wilayah itu kembali ke pangkuaan Ibu Pertiwi.
Di mata Bung Karno, nama Irian memiliki nilai strategi geolinguistik untuk memutus mata-rantai keterkaitan seraya memupuk perasaan bersatu secara emosional kultural antara penduduk yang Irian Barat dan komunitas di bagian Timur Indonesia (Papua Nugini) serta penduduk di negara Kepulauan Indonesia.
Kalau begitu, apakah ini merupakan gerakan untuk menciptakan disintegrasi bangsa? Itu benar sekali.
Ada baiknya saya kutipkan pernyataan Kepala Bidang Strategi Kebahasaan pada Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK) yang mengatakan , sekarang ini nampaknya ada strategi pengelompokkan ulang bahasa-bahasa di Indonesia telah memberi angin bagi kaum separatis di Papua. Sehingga terbentuk sebuah cara pandang baru bahwa bahasa yang digunakan suku bangsa ras Melanesia di wilayah Indonesia Timur tidak termasuk rumpun bahasa Austronesia.
Berarti, ini merupakan bagian dari Pola Perang Asimetris dalam rangka pelemahan internal NKRI dan kedaulatan nasional, melalui pelumpuhan sarana sosial-budaya di bumi nusantara. Dalam kasus ini adalah Papua.
Ditulis ulang oleh Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.