Jakarta, Aktual.com – Uni Eropa, Jumat (23/9), memuji perkembangan hak asasi manusia di Myanmar di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi dan mengatakan bahwa untuk pertama kali dalam 15 tahun mereka tidak akan mengajukan resolusi PBB yang mengecam catatan HAM negara tersebut.
Dalam pidatonya di hadapan Kelompok Partner Myanmar Majelis Umum PBB, Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini menyebut perkembangan yang dibuat Suu Kyi dari tahanan politik ke pemerintah merupakan “kesaksian kuat bagi perubahan luar biasa yang tengah dialami Myanmar”.
“Pemerintah telah mengambil langkah-langkah tegas memperbaiki hak asasi manusia dan menggiatkan kembali proses perdamaian. Tahanan-tahanan politik sudah dibebaskan,” katanya.
Mogherini mengatakan tindakan-tindakan “juga diambil terhadap mereka yang memicu kebencian”, dan sebuah komisi dibentuk di bawah kepemimpinan mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk mengatasi kekerasan antara warga mayoritas Buddha dan Muslim Rohingya di provinsi Rakhine.
Sebagai pengakuan atas perkembangan tersebut, untuk pertama kali dalam 15 tahun, UE tidak akan mengajukan resolusi HAM untuk Myanmar di Majelis Umum PBB, katanya.
Kepada Suu Kyi, Mogherini mengatakan: “Limabelas tahun adalah jarak luar biasa yang sudah dilalui Myanmar, ukuran seberapa banyak negara Anda sudah berubah.”
Mogherini mengatakan Uni Eropa memahami “kompleksitas” situasi di Rakhine dan mengatakan kepada Suu Kyi: “Saya tahu bahwa Anda bekerja keras untuk menemukan solusi berkelanjutan bagi kedua masyarakat itu.” Suu Kyi dikritik karena tidak berbuat banyak untuk menangani nasib kaum Muslim Rohingya.
Dalam pidato pertamanya di Majelis Umum sebagai pemimpin nasional, Rabu, ia membela upaya negaranya untuk menyelesaikan krisis di negaranya dan meminta “pengertian” serta “kontribusi konstruktif” negara-negara lain.
Ia mengatakan pemerintah akan bertahan dalam upayanya mencapai perdamaian di Rakhine dan berdiri tegak melawan kekuatan prasangka dan intoleransi”.
Duta Besar AS untuk PBB Samantha Power mengatakan dalam sesi yang sama, komitmen Suu Kyi untuk melawan intoleransi dan janjinya di Washington pekan lalu bahwa mereka yang berhak akan mendapatkan kewarganegaraan, adalah sesuatu yang “kuat dan penting”.
Meski demikian, ia dan Sekjen PBB Ban Ki-moon mengatakan masalah nyata masih ada dan keduanya menekankan kembali seruan bagi pemerintah untuk membolehkan pendirian kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB dengan mandat penuh.
Meningkatnya kebebasan berbicara sejak militer mundur dari pemerintahan langsung di Myanmar pada 2011 memungkinkan terlepasnya sentimen anti-Muslim yang sudah lama tertahan.
Sekitar 125 ribu warga Rohingya masih ditempatkan di kamp-kamp sementara setelah gelombang kekerasan pada 2012 antara penganut Buddha dan Muslim menewaskan lebih dari 100 orang.
Rohingya oleh sebagian besar populasi Buddha dilihat sebagai imigran gelap dari Bangladesh, meskipun banyak yang sudah beberapa generasi tinggal di Myanmar. Mereka kebanyakan dilucuti haknya untuk memilih dalam pemilihan umum 2015, yang membawa kemenangan bagi Suu Kyi sebagai pemimpin de facto.
ANT
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan