Jakarta, Aktual.com – Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Kepala Bulog era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli mengecam keras kebijakan pemerintah yang berencana untuk melakukan impor beras. Padahal kondisi saat ini sebentar lagi akan ada panen raya sekitar Februari atau Maret nanti.

Kebijakan ini disinyalir hanya membuktikan bahwa pemerintah saat ini masih diwarnai tangan-tangan yang berharap pada komisi dan rente dengan adanya impor beras ini.

Apalagi Bulog juga berbeda dengan di eranya. Saat ini mereka dikenai bunga dalam mencari dana pembiayaan untuk membeli komoditas dari petani. Seharusnya sebagai komoditas strategis tak perlu yang namanya sistem bunga.

“Bulog sekarang memang beda dengan Bulog yang dulu. Dulu ga ada bunga kreditnya. Langsung dari kredit likuiditas Bank Indonesia (BI). Kalau sekarang di-charge biaya pengadaan Bulog itu pakai bunga.  Ini menurut saya engga bener. Ga usah pakai bunga lah ini kan komoditi yang strategis,” kecam Rizal di Jakarta, ditulis Sabtu (13/1).

Kondisi tersebut membuat harga betas sendiri lebih mahal. Apalagi kemudian, Bulog sendiri membelinya tidak langsung dari petani melainkan dari tengkulak. Makanya tak aneh jika harga beras di Indoensia dengan di Thailand sangat jauh harganya. Di sana sangat-sangat lebih murah.

“Tinggi sekali harga beras di domestik ini. Sementara harga beras di Bangkok jauh di bawah kita. Dan ini (harga beras) spreadnya makin lama makin besar, berarti memang ada yang tak beres di sistem perberasan kita,” cetus dia.

Dia membeberkan pengalaman di era pemerintahan Gus Dur, di mana sekitar dua tahun harga beras stabil dan nyaris tak naik sama sekali. “Juga Tanpa impor. Karen kalau menurunkan harga beras pakai impor itu pekerjaan yang gampang. Semua orang juga bisa,” kritik RR, panggilan akrabnya itu.

Saat itu, cerita dia, pemerintah Gus Dur melakukan cara yang sederhana yakni pihaknya mendapat laporan setiap hari terkait laju harga beras di seluruh pasar induk di Indonesia. Dan laju harga beras dipantau di monitor.

Cerita dia, kalau kenaikannya 50 perak, maka di monitor itu akan keluar warna kuning, tapi jika naik 100 perak itu akan muncul warna merah.

“Itu saya langsung telepon ke sana, kenapa naik? Ya sudah banjiri saja selama dua minggu dengan beras kita. Masa pemerintah kalah. Jadi mengelola beras itu seperti valas (valuta asing). Bagaimana dengan stok dua juta ton bisa menstabilkan stok nasional sebanyak 25-30 juta ton,” jelas Rizal.

Untuk itu, kata dia, sangat tidak fair ketika petani mau panen malah pemerintah melakukan impor. Maka harga pasti akan jatuh. Jadi kasian petani. Kalau mau melakukan impor itu biasanya saat musim panas elnino, tapi kalau musim dingin dampaknya tak terlalu tinggi.

“Masih bisa impor asal setelah panen. Jangan malah mau panen kok impor. Kalau motif dulu sebelum kami itu, itu mereka rent seeker. Bisa jadu saat ini masih ada,” terang dia.

Dia pun menengarai kebijakan impor beras ini jangan-jangan untuk merusak pemerintahan Jokowi dan mengadu domba petani.

“Saya sendiri bingung dengan Mendag ini yang selalu solusianya impor ketika harga naik. Sebenarnya ada cara win-win. Dalam jangak menengah hujan dan matahari luar baisa. Untuk ke depan, harus bisa dicetak satu juta hektar sawah. Banyak daerah yang bisa dijadikan lumbung padi. Kalau itu terjadi, kita bisa jadi gudang beras Indonesia,” papar dia.

 

Pewarta : Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs