Jakarta, Aktual.com — Silang pendapat pengelolaan ladang gas abadi Blok Masela memasuki babak baru. Fakta-fakta yang melatarbelakanginya ternyata sangat mengerikan. Ada begitu banyak konflik kepentingan. Tragisnya, drama yang disuguhkan ternyata berusaha membalut kepentingan asing di sini. Lebih tragis lagi, para pejabat publik yang seharusnya menjadi penjaga gawang nasionalisme justru patut diduga gigih memperjuangkan syahwat para kapitalis asing tersebut.

Seperti diketahui, suara pemerintah memang terbelah dua dalam hal bagaimana memanfaatkannya. Pertama, membangun kilang terapung gas alam cair (Floating LNG Plant). Hadir di kelompok ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu (SKK) Migas.

Pendapat kedua, membangun kilang gas alam cair di darat (On shore LNG Plant) kemudian mengalirkannya dengan menggunakan pipa sepanjang 600 km ke Pulau Aru. Kelompok kedu berakasab, investasi  yang dibutuhkan ‘hanya’ sekitar US$14 ,6 miliar. Sedangkan bila yang dibangun Floating LNG Plant, maka butuh duit sebanyak US$19,3 miliar. Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli berdri di garda depan kelompok ini.

Tapi Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi buru-buru meralat angka disodorkan Rizal Ramli. Menurut dia, Menko yang terkenal dengan jurus “Rajawali Ngepret” itu terbalik dalam menyorongkan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk membangun keduanya. Itulah sebabnya SKK Migas memberi rekomendasi agar pemerintah membangun FLNG karena lebih murah ketimbang On shore LNG Plant.

Pada tulisan sebelumnya (silakan baca: Blok Masela,Siapa Membela Siapa?) saya mencoba ‘mengabaikan’ perbedaan biaya tersebut. Asumsi saya waktu itu, terlepas dari siapa yang benar soal angka-angkanya, saya lebih senang melihat sisi lain dari pendapat Rizal Ramli. Yang saya maksud adalah, dampak ganda (multiplier effect) yang bakal ditimbulkan jika pemerintah membangun kilang gas alam cair di darat.

Ada begitu banyak rangkaian benefit positif jika on shore LNG Plant yang dipilih. Mulai dari terbukanya lapangan kerja besar-besaran bagi penduduk pulau Aru dan sekitarnya, terserapnya kandungan lokal dalam porsi maksimal, tumbuhnya downstream industry (pupuk, petrokimia, gas, dan lainnya), sampai hadirnya sarana infrastruktur berupa pelabuhan dan bandar udara. Semua itu akan mengantarkan Pulau Aru menjadi kota yang hidup. Kesejahteraan pendudukanya bakal terkerek tinggi­. Bukan mustahil pada 10 tahun ke depan, Aru bakal menyalip Bontang dan Balikpapan.

Tapi baiklah, buat sementara kali ini saya ingin ‘mengabaikan’ dulu soal dampak ganda yang dahsyat bagi  tumbuhnya perekonomian Aru khususnya dan kawasan timur Indonesia pada umumnya. Saya ingin kembali ke soal perbandingan angka-angka yang dibutuhkan untuk membangun kedua pilihan tadi.

Angka-angka sumir
Seperti disebutkan sebelumnya, SKK Migas dan Sudirman Said ngeyel memilih FLNG Plant. Mereka mengklaim biayanyanya lebih murah. Pertanyaannya, benarkah demikian? Dari mana mereka mencomot angka-angka yang disebutnya lebih murah tadi? Siapa yang menghitung biaya-biaya tersebut?

Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akan tercium juga baunya. Pepatah kuno para bijak bestari ini sepertinya pas untuk soal ini. Selidik punya selidik, klaim floating lebih murah itu ternyata versi Shell yang, celakanya, dikutip mentah-mentah oleh para birokrat.

Seorang sahabat yang mengerti benar tentang hal-ihwal Blok Masela menyimpan angka-angka seru di balik semua ini. Ternyata Plan of Development (POD) Masela sempat mengalami sedikitnya tiga kali perubahan. Pertama, pada 2008 diusulkan dibangun FLNG offshore berkapasitas adalah 4,5 MTPA dengan investasi US$13,047 miliar. Lalu, pada 2010 setelah mempertimbangkan aspek keekonomian, kapasitasnya diturunkan menjadi 2,5 MTPA dengan biaya US$4,994 miliar. Anehnya, pada 2015 tanpa alasan yang kuat, kapasitasnya didongkrak menjadi  7,5 MTPA. Keruan saja  investasi yang yang dibutuhkan membengkak mencapai US$14,8 miliar.

Pada titik ini, bisa jadi SKK Migas benar. Rizal Ramli terbalik dalam menyodorkan angka. Tapi, selisih dana yang, katakanlah, sekitar US$4,5 miliar tersebut, langsung dikompensasi dengan tumbuhnya perekonomian Aru dan kawasan timur Indonesia. Anggap saja itu adalah investasi negara untuk mensejahterakan rakyatnya sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi.

Apalah artinya US$4,5 miliar,  kalau hal itu berbuah positif berupa meroketnya perekenomian dan kesejahteraan rakyat. Lagi pula, pemerintah bakal segera menikmati pengembaliannya;  baik berupa terbukanya lapangan kerja  yang luas dan masuknya berbagai pajak  serta dividen BUMN yang ikut kecipratan booming tadi.

Kembali ke soal angka versi Shell, POD tahun 2015 yang menggelembung sekitar US$10 miliar tersebut ternyata proposalnya dibuat oleh konsultan yang tidak kapabel. D&M yang ditunjuk sebenarnya ahli bidang konfirmasi reserve, bukan pada surface facillity  seperti FLNG, pipeline dan lainnya.

Lalu, usulan peningkatan kapasitas dari 2,5 MTPA menjadi 7,5 MTPA LNG sama sekali tanpa  alasan kuat. Pasalnya, belum pernah ada di dunia FLNG dengan kapasitas sebesar 7,5 MTPA.  Sekadar informasi  saja, FLNG yan sudah proven di dunia hanya berkapasitas 2,5 MTPA. Shell memang membangun FLNG dengan kapasitas 4,5 MTPA di Australia. Tapi, itu pun baru akan beroperasi pada 2018!

Kepentingan asing?
Sampai di sini masalah sudah bisa timbul. Fakta-fakta yang ada dengan gamblang menunjukkan beberapa hal. Pertama, teknologi floating LNG Plant (off shore) yang digadang-gadang SKK Migas dan Sudirman ternyata bersumber dari Shell. Padahal Shell adalah produsen sekaligus pemasok fasilitas FLNG. Singkat kata, di sini pasti ada konflik kepentingan. Jadi, untuk kepentingan siapakah sebenarnya SKK Migas dan Sudirman bekerja?

Fakta kedua, teknologi FLNG Plant versi Shell sama sekali belum proven. Apakah kita akan berjudi dengan bayang-bayang risiko yang sama sekali belum diketahui? Ingat, pertaruhan ini bukan melulu terkait miliaran dolar investasi yang negara gelontorkan, tapi juga bencana sosial yang sangat mungkin bisa terjadi.

Dari fakta kedua tersebut, siapa pun yang berperan menggolkan rencana tersebut berpotensi melanggar aturan yang ada, yaitu Undang-undang Keuangan. Pasal 3 ayat UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara berbunyi: “agar Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.”

SKK Migas, Sudirman atau siapa saja yang terlibat, hampir pasti bakal menabrak pasal ini. Bagaimana mereka menjelaskan sekaligus menjamin bahwa pembangunan FLNG dengan biaya, katakanlah, US$14,8 miliar tidak akan mengabaikan prinsip-prinsip efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan?

Bisakah mereka menampik bahwa biaya versi Shell itu terlalu mahal dan sama sekali tidak berdasar? Bagaimana mereka menjelaskan kecurigaan adanya permainan Shell? Bukankah perubahan POD terjadi setelah Shell mengambil alih sebagian saham Masela?

Pertanyaan lainnya, berapa sejatinya biaya yang dibutuhkan untuk membangun masing-masing fasilitas tersebut. Kalau pada FLNG terjadi kutak-katik angka, tidakkah hal serupa juga terjadi pada on shore? Sekali lagi, berapa sejatinya biaya pembangunan on shore LNG plant?

Tampak lebih murah
Sangat mungkin mereka sengaja membesar-besarnya biaya pembangunan kilang LNG darat agar FLNG tampak lebih murah sehingga seolah-olah feasible dan ekonomis.  Begini, sebagai perbandingan, LNG Bontang berkapasitas 3 MTPA grass root (dari awal) lengkap dengan segala fasilitasnya hanya memerlukan investasi US$0,6 miliar. Dengan perbandingan ini, seharusnya kalau pun on shore LNG Masela dibangun dengan kapasitas 7,5 MTPA biayanya hanya akan berkisar US$2 miliar-US$3 miliar. Bukan US$19,3 miliar seperti yang disebut-sebut Amin yang diamini Sudirman!

Bila niat dan praktik membesar-besarkan investasi on shore ini sukses, maka pemerintah, DPR, dan publik akan kepincut. Lalu, persetujuan membangun FLNG menjadi koor yang membahana. Shell bakal untung berlipat-lipat. Dan, tentu saja, para pejabat yang gigih memperjuangkan golnya skenario ini pasti kecipratan rejeki yang tidak sedikit. Ehmm….

Tapi, bagaimana mereka menjelaskan semua keganjilan angka-angka tersebut? Lalu, dimanakah prinsip efisiensi, ekonomis, dan efektif yang mestinya digenggam erat? Itu artinya, mereka tidak transparan, tidak bertanggung jawab sekaligus mengabaikan rasa keadilan dan kepatutan sebagaimana dimanatkan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara?

Seharusnya, semua pembiayaan yang dibayar oleh negara haruslah barang atau jasa yang sudah proven, bukan prototype. Dengan begitu, kalau memang ingin membangun kilang LNG, tentunya harus menggunakan teknologi yang sudah proven. Pasalnya, semua pembiayaan itu pada akhirnya adalah cost-recovery. Artinya, bakal diganti olehnegara.

Pesan lawas itu bahkan sudah digariskan sejak Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Nomor 448 dilahirkan pada tahun 1925. Begitu juga dengan beberapa kali perubahannya yang terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860). Semua itu menjadi jadi landasan diterbitkannya UU-Keuangan Negara nomor 17/2003.

So, apa  tuan-tuan masih ngotot dengan proyek FLNG? Bagaimana dengan UU Keuangan Negara yang bakal kalian tabrak? Sedahsyat itukah penghambaan tuan-tuan sebagai penghela kepentingan asing di Blok Masela

Penulis:
Engkus Munarman, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka