Saat ini, ia mengaku masih melakukan pendalaman terhadap kasus tersebut. Saksi-saksi telah dimintai keterangan, termasuk Bendesa Adat Teluk Benoa yang merupakan terlapor. “Ada 11 saksi yang sudah kita periksa, termasuk terlapor yakni Bendesa Adat Teluk Benoa. Dalam waktu dekat, usai Nyepi kita akan panggil kembali untuk dimintai keterangan,” katanya.
Soma melanjutkan, Bendesa Adat Tanjung Benoa membenarkan jika ia memerintahkan lima orang warganya untuk mengawasi pengerjaan itu. Sebabnya, reklamasi tersebut merupakan proyek desa adat yang disebut sapta pesona.
“Atas dasar itu dilakukan penimbunan. Alasan dia ingin melestarikan hutan mangrove dan karena ada tempat pemujaan Pura Gading Sari supaya tidak abrasi maka di sekelilingnya ditimbun. Selain itu alasannya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memelihara ikan dan lain sebagainya,” ujar Soma.
Kendati begitu, Soma menjelaskan, jika aktivitas reklamasi itu belum mengantongi izin. “Kita sudah cek ke Dinas Kehutanan dan aktivitas itu belum berizin. Kita masih menyelidiki apakah ada peristiwa pidana atau tidak. Sekarang kegiatan itu dihentikan,” beber dia.
Selain melakukan aktivitas reklamasi ilegal, Soma menyebut Bendesa Adat Tanjung Benoa yang sangat getol menolak reklamasi Teluk Benoa juga melakukan perambahan terhadap mangrove yang dilindungi. “Ada pohon mangrove yang diterabas untuk proyek itu. Ada potongan lama, ada juga potongan pohon mangrove yang masih baru,” tuturnya.
Kendati telah memeriksa beberapa saksi, namun Soma mengaku belum menetapkan status apapun terhadap I Made Wijaya yang juga anggota DPRD Kabupaten Badung itu. “Kita belum menentukan pasal karena masih penyelidikan. Kita belum melakukan upaya paksa. Tapi beberapa bahan sudah ada yang kita sita seperti beberapa selang, kabel listrik, semen, termasuk molen,” demikian Soma.
Laporan Bobby Andalan, Bali
Artikel ini ditulis oleh: