Jakarta, Aktual.co — Pakar Pemilu Advisor Kemitraan, Ramlan Surbakti mengatakan dibalik suksesnya Pemilu 2014, masih ada regulasi yang tumpang tindih tentang pemilu, akibatnya terjadi multitafsir sehingga perlu digabungkan menjadi satu undang-undang atau kodifikasi.
“Seperti yang kita ketahui, regulasi yang mengatur pemilu di negara ini terbagi kedalam empat undang-undang (UU), dan semuanya memiliki definisi berbeda memaknai tahapan penyelenggaraan pemilu,” ungkapnya, di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Sumatera Barat, Rabu (10/6).
Ini harus segera disikapi oleh pemangku regulasi agar tidak menciptakan permasalahan besar dalam penyelenggaraan Pemilu.
Ia memaparkan keempat regulasi tersebut yaitu UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilu Gubernur,Bupati dan Walikota.
UU nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggaraan Pemilu, dan UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, semuanya mengandung kontradiksi istilah yang berbeda untuk maksud yang sama.
Tidak hanya itu saja, selanya, regulasi tersebut juga mengandung istilah yang sama untuk maksud yang berbeda.
“Contohnya pada aspek tahapan penyelenggaraan, di UU No 42 tahun 2008 menyebutkan 8 tahapan, sementara UU No 8 tahun 2012 menyebutkan 11 tahapan,” ujarnya.
Selain itu, definisi pemilih pada UU No 42 tahun 2008 sudah menghapuskan dua jenis larangan menjadi pemilih sementara U@U No 8 tahun 2015 menghidupkan kembali kedua larangan itu, yakni sedang terganggu jiwa dan tidak sedang dicabut hak pilihnya.
Apalagi, pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan Pemilu dilakukan serentak pada tahun 2019, kebutuhan untuk meng-kodifikasi UU Pemilu semakin mendesak.
“Kami akan menyatakan sikap untuk mendesak DPR RI melalui badan legislasi memasukkan kodifikasi UU Pemilu dalam program legislasi nasional prioritas 2016,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: