Syekh Muhammad Danial Nafis
Syekh Muhammad Danial Nafis

Jakarta, aktual.com – Dalam kehidupan, setiap hamba pasti memiliki hajat, doa, dan permintaan yang dipanjatkan kepada Allah. Namun, sering kali doa yang dipanjatkan seakan tertunda atau belum juga menampakkan hasil. Pada titik inilah muncul kegelisahan, bahkan ada yang mempertanyakan kapan doa itu dikabulkan.

Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam memberikan nasihat penting:

لَا تُطَالِبْ رَبَّكَ بِتَأَخُّرِ مَطْلَبِكَ، وَلَكِنْ طَالِبْ نَفْسَكَ بِتَأَخُّرِ أَدَبِكَ.

“Janganlah engkau menuntut Tuhanmu karena tertundanya permintaanmu, tetapi tuntutlah dirimu sendiri karena tertundanya adabmu.”

Pesan ini menekankan bahwa keterlambatan terkabulnya doa bukanlah karena Allah tidak mendengar, melainkan karena kurangnya adab seorang hamba dalam berhadapan dengan Tuhannya. Adab yang dimaksud bisa berupa sikap hati yang terlalu terikat pada hasil doa, kurangnya kesabaran, atau belum adanya penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.

Seorang hamba dianjurkan untuk terus menjaga dzikir dan memperbaiki akhlak. Hal inilah yang disebut dengan Luzumudzikir wa Husnul Khuluq, yakni melanggengkan dzikir kepada Allah dan berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari.

Syekh Ahmad Zarruq RA memberikan ukuran sederhana dalam menilai seorang kekasih Allah. Menurut beliau, seorang wali dapat dikenali melalui tiga tanda:

  1. Mengutamakan Allah dan Rasul-Nya,
  2. Memalingkan diri dari urusan makhluk,
  3. Menghidupkan sunnah Rasulullah SAW.

Apabila ketiga hal ini terpenuhi, maka ia benar-benar termasuk wali Allah.

Perbedaan antara kekasih Allah yang melalui jalan thariqah dengan yang tidak, juga terletak pada cara mereka menyikapi ujian. Seorang salik yang ditempa melalui jalan thariqah akan lebih siap menerima takdir, tidak goyah oleh cobaan, sebab yang dicari semata adalah Allah. Sementara itu, seorang hamba yang mendapat karunia tanpa melalui tempaan thariqah mungkin saja mudah goyah ketika ditimpa ujian, bahkan bisa terjebak pada keluh kesah dan lupa mensyukuri nikmat Allah.

Karena itulah, setan yang menggoda seorang wali tentu memiliki kekuatan berbeda dengan setan yang menggoda orang awam.

Syekh Ibnu Athaillah juga mengingatkan dalam kalam hikmahnya:

مَتَى جَعَلَكَ فِي الظَّاهِرِ مُمتَثِلًا لِأَمرِهِ، وَفِي البَاطِنِ مُستَسلِمًا لِقَهرِهِ، فَقَد أَعظَمَ المِنَّةَ عَلَيكَ.

“Apabila Allah menjadikanmu di sisi lahir tampak taat melaksanakan perintah-Nya, dan di sisi batin berserah diri pada kekuasaan-Nya, maka sungguh Dia telah memberikan nikmat yang paling agung kepadamu.”

Karenanya, doa seorang hamba hendaknya selalu disertai dengan adab. Rasulullah SAW menekankan pentingnya kesantunan dalam memohon, sebagaimana doa berikut yang sangat patut diamalkan:

اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا حُسْن الأَدَبِ مَعَكَ فِي جَمِيعِ الأَحْوَالِ.

“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami adab yang baik dalam berinteraksi dengan-Mu, lahir dan batin kami, dalam segala keadaan.”

Perjalanan menuju ridha Allah selalu diiringi dengan ujian yang berat. Ujian itu adalah sarana untuk menguji sejauh mana seorang hamba berserah diri dan beriman kepada Allah. Dalam proses ini, doa menjadi simbol kehambaan sekaligus bentuk pengakuan bahwa manusia tidak memiliki daya apa pun kecuali dengan pertolongan Allah.

Namun, dalam menempuh jalan spiritual, seorang murid tidak boleh mengabaikan adab kepada gurunya. Kedekatan dengan guru jangan sampai membuat hati lalai sehingga kurang menghormati atau meremehkan beliau. Banyak terjadi di zaman ini, murid lupa menempatkan gurunya pada posisi yang semestinya, padahal keberkahan ilmu terletak pada adab.

Thariqah Syadziliyah mengajarkan pembersihan jiwa dengan kesyukuran dan ketundukan. Jalan ini tidak mengajarkan umat untuk menjauhi dunia, tetapi justru menata hati agar dapat menikmati nikmat dunia dengan penuh rasa syukur. Dengan begitu, seorang salik bisa hidup baik di dunia sekaligus meraih kebaikan di akhirat.

Kesimpulannya, doa yang tampak tertunda bukanlah tanda Allah mengabaikan hamba-Nya, melainkan kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki adab, memperkuat dzikir, dan melatih kesabaran. Semakin dekat seorang hamba dengan Allah, semakin ia akan memprioritaskan perintah-Nya dan menyegerakan panggilan-Nya, serta semakin ikhlas dalam menerima takdir dengan penuh kerelaan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain